Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah mencatat posisi utang pemerintah hingga September 2023 mencapai Rp7.891,61 triliun.
Laporan APBN Kita edisi Oktober 2023 menyatakan posisi utang tersebut terhadap PDB sebesar 37,95%. Rasio utang ini menurun dibandingkan akhir 2022 dan berada di bawah batas aman 60% PDB sesuai UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.
"Rasio ini juga masih sejalan dengan yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah tahun 2023-2026 di kisaran 40%," bunyi laporan APBN Kita, dikutip pada Sabtu (28/10/2023).
Laporan ini menjelaskan pengelolaan utang pemerintah yang baik turut tercermin pada hasil asesmen lembaga pemeringkat kredit pada 2023 yang masih mempertahankan sovereign rating Indonesia pada level investment grade. Beberapa di antaranya yakni antara lain S&P dan Fitch (BBB/Stable), serta peningkatan outlook menjadi positif oleh R&I (BBB+/positive).
Pemerintah senantiasa melakukan pengelolaan utang secara hati-hati dengan risiko yang terkendali melalui komposisi yang optimal, baik terkait mata uang, suku bunga, maupun jatuh tempo. Sejalan dengan kebijakan umum pembiayaan utang untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan memanfaatkan utang luar negeri sebagai pelengkap, komposisi utang pemerintah didominasi oleh utang domestik yaitu 72,07%.
Sementara berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah mayoritas berupa SBN yang mencapai 88,86%. Selain itu, pemerintah mengutamakan pengadaan utang dengan tenor menengah-panjang dan melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif. Pada akhir September 2023, profil jatuh tempo utang Indonesia terbilang cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) di kisaran 8 tahun.
Pengelolaan utang pemerintah melalui penerbitan SBN terus diupayakan untuk mendukung pengembangan dan pendalaman pasar keuangan domestik, inklusi keuangan, serta upaya peningkatan literasi keuangan masyarakat dari savings society menjadi investment society. Sejalan dengan hal tersebut, kepemilikan investor individu dalam SBN domestik terus mengalami peningkatan sejak 2019 yang hanya mencapai 2,95% menjadi 7,38% per akhir September 2023.
Selanjutnya, bagi lembaga keuangan, SBN berperan penting untuk memenuhi kebutuhan investasi dan pengelolaan likuiditas, serta menjadi salah satu upaya mitigasi risiko. Hal ini menyebabkan perbankan menjadi pemilik SBN domestik terbesar, yakni mencapai 29,73% pada akhir September 2023.
Bank Indonesia tercatat sebesar 16,91%, antara lain digunakan sebagai instrumen pengelolaan moneter. Adapun asing hanya memiliki SBN domestik sekitar 14,95% termasuk kepemilikan oleh pemerintah dan bank sentral asing.
Selanjutnya, guna meningkatkan efisiensi pengelolaan utang dalam jangka panjang, pemerintah terus berupaya mendukung terbentuknya pasar SBN domestik yang dalam, aktif, dan likuid. Salah satu strateginya melalui pengembangan berbagai instrumen SBN, termasuk pula pengembangan SBN tematik berbasis lingkungan (Green Sukuk) dan SDGs (SDG Bond dan Blue Bond).
"Peranan transformasi digital dalam proses penerbitan dan penjualan SBN yang didukung dengan sistem online juga tak kalah penting, mampu membuat pengadaan utang melalui SBN menjadi semakin efektif dan efisien, serta kredibel," bunyi laporan APBN Kita. (sap)