Ilustrasi.
SEMARANG, DDTCNews - Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memandang pajak minimum global perlu dikaji ulang.
Menurut Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, pajak minimum global sebagaimana yang termuat dalam Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) hanya menguntungkan negara maju yang notabene memiliki daya saing investasi lebih kuat.
"Dari kesepakatan tadi memutuskan ini butuh kajian ulang. Jangan sampai ini diimplementasikan kemudian menguntungkan satu kelompok negara tertentu, ini kita enggak mau," kata Bahlil dalam Asean Economic Ministers' Meeting, dikutip pada Minggu (20/8/2023).
Menurut Bahlil, saat ini bukan waktunya bagi negara berkembang untuk menerapkan pajak minimum global. Negara maju harus membuka ruang bagi negara berkembang untuk menarik investasi.
Untuk menarik investasi, negara berkembang perlu memberikan beragam insentif termasuk insentif perpajakan. Lebih lanjut, Bahlil menilai kebijakan perpajakan di negara maju tak bisa serta merta diimplementasikan di negara berkembang.
"Kami sekarang lagi kajian, harus ada pemanis [sweetener] lain. Jujur bahwa tidak apple to apple dong negara maju mau dijadikan baseline yang sama dengan negara berkembang," tutur Bahlil.
Bila pajak minimum global segera diterapkan, Bahlil berpandangan hal ini akan mengganggu program hilirisasi yang sedang didorong oleh pemerintah. Dengan adanya pajak minimum global, investor dari negara maju akan kembali berinvestasi ke negara asalnya.
Dia bahkan menyimpulkan bahwa pajak minimum global merupakan akal-akalan negara maju. Melalui instrumen tersebut, negara maju memaksa negara berkembang mengirimkan bahan baku ke negara maju.
Sebagai informasi, pajak minimum global dengan tarif efektif minimal sebesar 15% berlaku atas perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas €750 juta per tahun.
Pajak minimum global berlaku sebagai common approach. Artinya, setiap yurisdiksi perlu mengadopsi pajak minimum melalui ketentuan domestiknya masing-masing.
Bila tarif pajak efektif perusahaan multinasional pada suatu yurisdiksi tak mencapai 15% maka top-up tax berhak dikenakan oleh yurisdiksi tempat korporasi multinasional bermarkas. Pengenaan top-up tax dilakukan berdasarkan income inclusion rule (IIR). (rig)