Manager of DDTC Consulting Riyhan Juli Asyir saat memberikan paparan.
MEDAN, DDTCNews – Ketentuan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto yang diatur dalam PMK 68/2022 dipandang sudah sesuai dengan masukan OECD.
Manager of DDTC Consulting Riyhan Juli Asyir mengatakan prinsip kesederhanaan yang dianut PMK 68/2022 sudah selaras dengan pandangan OECD. Menurutnya, salah satu hal yang ditekankan OECD terkait dengan pajak cryptocurrency adalah ketentuan yang sederhana.
“Untuk transaksi dengan frekuensi yang sangat tinggi seperti cryptocurrency ini memang yang paling bagus adalah sesederhana mungkin ketentuan pajaknya dan PMK 68/2022 sudah mengakomodasi hal tersebut,” katanya dalam webinar bertajuk Aspek Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto, Jumat (11/8/2023).
Dalam laporan bertajuk Taxing Virtual Currencies An Overview Of Tax Treatments And Emerging Tax Policy Issues, OECD menekankan 4 hal yang harus dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan pajak untuk cryptocurrency.
Pertama, memberikan panduan dan kerangka kebijakan pajak secara komprehensif dan diperbarui secara berkala. Kedua, perlunya meningkatkan kepatuhan pajak melalui simplifikasi ketentuan valuasi aset serta penerapan pengecualian pengenaan pajak atas transaksi cryptocurrency bernominal kecil.
Ketiga, menyelaraskan perlakuan pajak cryptocurrency dengan tujuan kebijakan lain, seperti pengurangan penggunaan mata uang konvensional, akselerasi ekonomi, atau kebijakan-kebijakan prolingkungan.
Keempat, pengembangan kerangka kebijakan pajak secara paralel guna mengantisipasi perkembangan baru dari jenis-jenis cryptocurrency. Menurut Riyhan, ketentuan yang diatur dalam PMK 68/2022 sudah selaras dengan masukan OECD tersebut.
Selain itu, Riyhan juga menguraikan komparasi ketentuan pajak atas kripto pada berbagai negara. Dia juga menyinggung crypto asset reporting framework (CARF). CARF merupakan landasan bagi setiap negara untuk mempertukarkan informasi aset kripto melalui AEOI.
Riyhan juga menguraikan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kontribusi jenis pajak utama dan prospek penerimaan ke depan, serta potensi pajak ekonomi digital termasuk pajak kripto.
Sebagai informasi, webinar ini digelar oleh Program Studi D3 Perpajakan Universitas Pembangunan Panca Budi (Unpab). Selain Riyhan, hadir 2 narasumber lain, yaitu Penyuluh KPP Pratama Medan Barat Anju Frans Siregar dan Dosen Unpab Bakhtiar Efendi.
Sementara itu, Kepala Program Studi D3 Perpajakan Unpab Junawan berharap webinar yang digelar dapat memberikan pemahaman kepada mahasiswa mengenai aspek perpajakan dari transaksi aset kripto. (rig)