Ilustrasi. Pekerja menyambungkan kabel pada pemeliharaan rutin jaringan listrik PT PLN (persero) di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (3/12/2022). ANTARA FOTO/Basri Marzuki/pras.
JAKARTA, DDTCNews - Pelaku usaha menilai ketentuan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas tenaga listrik dalam UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) belum mendukung pengembangan infrastruktur energi baru dan terbarukan.
Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyaprathama mengatakan UU HKPD tidak memuat klausul yang mengecualikan konsumsi tenaga listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT).
"UU HKPD belum terlihat memberikan insentif bagi mereka yang menyediakan listrik menggunakan pembangkit berbasis EBT. Ini belum terlihat di sini," katanya, dikutip pada Minggu (9/7/2023).
UU HKPD hanya memberikan ruang untuk mengecualikan konsumsi listrik lainnya dari pengenaan PBJT. Oleh karena itu, pembebasan PBJT atas listrik berbasis EBT sangat bergantung pada diskresi daerah melalui perda.
"Sejauh mana perda ini bisa memiliki suatu diskresi atau kewenangan untuk mendukung net zero, sustainability, dan penggunaan EBT," ujar Siddhi.
Siddhi menilai dukungan terhadap pengembangan infrastruktur energi ramah lingkungan saat ini perlu diberikan. Salah satunya adalah dengan menetapkan tarif PBJT yang lebih rendah atas konsumsi listrik berbasis EBT.
"Tentu ini akan mendorong minat investasi pengusaha di bidang pembangkit listrik EBT," tuturnya.
Untuk diketahui, tenaga listrik termasuk salah satu dari 5 objek PBJT. Secara umum, tarif PBJT adalah maksimal sebesar 10%.
Namun, tarif PBJT atas konsumsi listrik dari sumber lain oleh industri dan pertambangan migas adalah maksimal sebesar 3%. Adapun tarif PBJT atas tenaga listrik yang dihasilkan sendiri adalah maksimal sebesar 1,5%. (rig)