Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) mengaku sedang menyiapkan peraturan menteri keuangan (PMK) yang mengatur tentang perlakuan perpajakan atas kerja sama operasi (KSO) atau joint operation (JO).
Kepala Seksi Peraturan PPh Badan II Direktorat Peraturan Perpajakan II Dwi Setyobudi mengatakan PMK baru ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah perbedaan interpretasi antara fiskus dan wajib pajak yang terjadi selama ini.
"Rancangan PMK masih dalam proses dan masih menunggu kajian serta masukan dari berbagai pihak," ujar Dwi dalam Regular Tax Discussion yang digelar oleh Ikata Akuntan Indonesia (IAI), dikutip Jumat (23/6/2023).
Dwi mengatakan regulasi dalam bentuk PMK dibutuhkan mengingat hingga saat ini belum ada aturan khusus yang menjelaskan secara terperinci terkait dengan perlakuan perpajakan bagi JO.
"Kalau membaca peraturan-peraturan lama mulai tahun 1989, 2005, kemudian 2015, aturan teknis belum ada sampai saat ini tetapi ada tax ruling atau penegasan kepada wajib pajak," ujar Dwi.
Tak hanya untuk memberikan penjelasan secara terperinci terkait JO, regulasi baru juga diperlukan untuk menyesuaikan ketentuan perpajakan dengan perubahan-perubahan pada pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK).
Untuk saat ini, ditetapkannya JO sebagai subjek pajak badan hanya diatur berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-04/PJ/2020. Pada Pasal 1 angka 9 PER-04/PJ/2020, badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha termasuk JO.
Adapun Pasal 1 angka 13 mendefinisikan JO sebagai pengaturan bersama antar para pihak yang mengatur bahwa para pihak yang disebut operator bersama memiliki pengendalian bersama atau memiliki hak atas aset, dan kewajiban terhadap liabilitas, yang melakukan penyerahan dan/atau memperoleh barang dan/atau jasa atas nama JO.
Adapun kewajiban perpajakan bagi JO meliputi pemenuhan kewajiban PPh badan atas nama JO, memotong dan memungut PPh, dan memungut PPN dalam hal JO melakukan penyerahan BKP/JKP.
Menurut Dwi, JO dikategorikan sebagai subjek PPh badan dan wajib melaporkan SPT Tahunan PPh badan bila secara substansi merupakan entitas yang terpisah dari anggota pengaturan bersama, memiliki hak dan kewajiban tersendiri, dibentuk sebagai entitas yang berkelanjutan dalam bisnis, dan/atau memiliki tanggung jawab atas hasil pekerjaan.
"Bila JO itu secara substansi adalah entitas terpisah dan memiliki karakteristik sebagai entitas, mereka merupakan wajib SPT Tahunan PPh Badan," ujar Dwi.
JO tidak dikategorikan sebagai subjek PPh badan dan tidak wajib melaporkan SPT Tahunan PPh badan dalam hal JO tersebut tidak dibentuk melalui kendaraan terpisah, bukan merupakan entitas terpisah, hanya berfungsi sebagai alat koordinasi, tanggung jawab pekerjaan masih berada di anggota, dan kontrak dengan pihak ketiga ditandatangani oleh anggota.
"Memang perlu ada penelitian atas kontrak, proses bisnisnya, dan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Ini yang barang kali ada perbedaan penafsiran di lapangan," ujar Dwi. (sap)