Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjabarkan aspek pengelolaan aset masih menjadi titik lemah dalam menjalankan administrasi keuangan negara. Perbaikan tata kelola masih harus dilakukan secara konsisten.
Dia menyebut pengelolaan aset masih menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah. Hal tersebut juga menjadi perhatian khusus Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait kegiatan revaluasi aset yang dilakukan pemerintah dalam dua tahun terakhir.
“Kita akui hari ini saat melakukan revaluasi aset dan BPK melakukan temuan. Maka terlihat sekali kelemahan kita dalam mengelola aset,” katanya dalam acara Asset Manager Batch II, Selasa (29/10/2019).
Sri Mulyani menjabarkan pengelolaan aset di Indonesia saat ini masih jauh dari kata ideal. Menurutnya, aset yang ada sekarang lebih banyak menjadi beban anggaran untuk pemeliharaan ketimbang menjadi objek yang produktif bagi negara.
Hal ini kemudian membuat aset pemerintah tidak mampu memberikan nilai tambah ekonomis yang optimal. Oleh karena itu, perubahan tata kelola harus mulai dilaksanakan dari saat ini.
“Dalam artian sempit, aset yang kita punya itu tentu harus bisa memberikan sumbangan dalam PNBP,” paparnya.
Tantangan pengelolaan aset, lanjut Sri Mulyani tidak akan mudah dalam lima tahun ke depan. Agenda pemindahan ibukota dari Jakarta Ke Kalimantan akan menimbulkan tantangan besar dalam pengelolaan aset pemerintah yang ada di Jakarta. Oleh karena itu, inovasi dalam mengelola aset sudah harus mulai dipikirkan sejak saat ini.
“Dengan ibu kota baru, lalu aset yang ada di Jakarta mau kita apakan. Nah, sekarang kita sudah siap enggak? Jangan sampai saat pindah ibu kota, kita masih harus mengeluarkan (biaya) pemeliharaan,” ungkapnya.
Seperti diketahui, Ketua BPK Agung Firman Sampurna beberapa waktu lalu mengaku akan memperketat mekanisme pemeriksaan laporan keuangan pemerintah. Khusus untuk pemerintah pusat, BPK menyoroti masih adanya temuan dalam kegiatan revaluasi aset barang milik negara (BMN) yang dilakukan Kemenkeu pada 2017 dan 2018.
Menurutnya, revaluasi aset yang dilakukan masih menyisakan banyak persoalan. Salah satunya temuan terkait keberadaan aset, status kepemilikan, dan peruntukan aset yang belum jelas. Kemudian, metode dalam yang digunakan pemerintah dalam melakukan revaluasi aset barang milik negara (BMN) masih menimbulkan masalah dari kacamata auditor negara.
Hal tersebut, lanjut Agung, berpotensi memengaruhi opini laporan keuangan pemerintah yang mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam beberapa tahun terakhir. Adapun dalam penilaian 2007-2010, nilai BMN sebesar Rp4.190,31 triliun. Pascarevaluasi aset pada 2017-2018, nilai BMN naik menjadi Rp5.728,49 triliun. (kaw)