JAKARTA, DDTCNews – Langkah pemerintah tidak mengubah tarif cukai pada 2019 dinilai tidak tepat. Pasalnya, kapasitas industri tembakau tidak signifikan terhadap perekonomian nasional.
Hal itu diungkapkan oleh Ekonom Faisal Basri. Dia mengatakan bila melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2018, kontribusi industri tembakau hanya 0,9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angkanya tidak sepenting industri kelapa sawit atau makanan dan minuman yang mempunyai porsi besar dalam struktur ekonomi.
"Bila dilihat dari kontribusi berdasarkan manufaktur maka tembakau itu menyumbang 4,46%. Dikerucutkan berdasarkan industri pengolahan nonmigas maka industri tembakau menyumbang 5,03%," katanya di konpres Komnas Pengendalian Tembakau, Selasa (6/11/2018).
Oleh karena itu, lanjut Faisal, pemerintah seharusnya konsisten untuk menerapakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.146/2017 di mana tarif cukai rokok diamanatkan sebesar 57%. Polemik soal nasib tenaga kerja dan petani tembakau seharusnya tidak menjadi alasan untuk tidak menaikkan cukai di tahun politik.
Menurutnya, dari sisi petani tembakau sudah banyak yang beralih dari menanam tembakau. Pergeseran di tingkat petani ini juga paralel dengan beralihnya orientasi bisnis perusahaan tembakau di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
"Petani tembakau secara natural sudah berkurang ratusan ribu dan industri rokok sadar dengan lakukan diversifikasi ke berbagai usaha," terangnya.
Peninjauan ulang atas kebijakan tidak menaikkan cukai rokok menurut Faisal harus menjadi opsi pemerintah. Salah satu poinnya adalah untuk mengurangi beban BPJS Kesehatan mengurusi pasien yang terpapar penyakit dampak dari rokok.
"Data komnas pengendalian tembakau 30% pengeluran BPJS Kesehatan untuk penyakit terkait dengan rokok dan cukai itu jadi alat untuk kurangi konsumsi dan mempersulit akses ke produk tembakau," tandasnya. (Amu)