JAKARTA, DDTCNews – Selasa (20/2) pagi ini, berita pajak mengenai akses data nasabah masih mewarnai beberapa media nasional. Dalam lanjutan sidang uji materi Undang-undang (UU) No. 9/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, pemerintah mendatangkan tiga saksi ahli. Ketiga pakar yang hadir sepakat beleid ini konstitusional dan memang dibutuhkan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Pengamat ekonomi sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri yang menjadi saksi ahli menilai UU No. 9/2017 dibutuhkan agar pemerintah bisa meningkatkan perekonomian lewat penerimaan perpajakan. Bila penerimaan pajak selalu gagal, maka konsekuensinya adalah pemerintah tidak bisa menyediakan anggaran atau rasio utang akan meningkat. Konsekuensi bila pemerintah tidak bisa meraih penerimaan pajak sangat membahayakan ketahanan ekonomi keseluruhan. Chatib juga mengakui sulitnya memperoleh data pajak, alhasil petugas pajak kerap memburu wajib pajak yang telah membayar pajak dengan baik.
Hal senada diungkapkan oleh pakar perpajakan DDTC Darussalam. Dia menegaskan keberadaan beleid ini menjadi salah satu solusi mengatasi penghindaran pajak yang cukup masif selama ini. Menurutnya berdasarkan data Kementerian Keuangan, di Indonesia ada 131 juta pekerja aktif namun yang terdaftar sebagai wajib pajak hanya 36 juta.
Darussalam yang juga menjadi ahli dalam uji materi ini menyebutkan dari jumlah wajib pajak itu, yang wajib melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) sekitar 16,6 juta. Kemudian yang melapor SPT hanya sekitar 12 juta wajib pajak atau 72%. Hal ini menjadi acuan kepatuhan wajib pajak masih rendah.
Adapun, Direktur Center of Indonesian Taxation (CITA) Yustinus Prastowo yang menjadi saksi ahli mengatakan akses keterbukaan informasi keuangan domestik telah menjadi praktik umum di banyak negara. Menurutnya, negara akan menjamin perlindungan privasi agar data nasabah tidak diselewengkan. Kinerja pajak yang tak kunjung membaik membutuhkan solusi yang radikal dan progresif. Para ahli sepakat aturan ini tidak melanggar konstitusi seperti yang diajukan pemohon uji materi, Fernando Manulang.
Selain itu, berita terkait kebijakan untuk mendorong penerimaan negara masih berlanjut pagi ini. Berikut ringkasannya:
Kementerian Keuangan memprediksi penerimaan negara dari cukai plastik kresek bisa mencapai Rp500 miliar, dengan asumsi implementasi kebijakan itu pada bulan Juli 2018. Pasalnya, saat ini pemerintah belum bisa membahas kebijakan itu bersama dewan legislatif. Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea dan Cukai Marisi Zainudin Sihotang menjelaskan penerapan cukai plastik kresek tinggal menunggu pembahasan aturan bersama Komisi XI DPR, mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa dijadwalkan.
Apalagi menurutnya dalam APBN tahun 2018 penerimaan dari cukai plastik sudah dimasukkan dengan nilai Rp500 miliar. Untuk itu, Ditjen Bea Cukai menargetkan cukai plastik kresek bisa diterapkan mulai bulan Juli 2018. Sementara Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyatakan DPR akan mengikuti agenda pemerintah sepanjang membantu penerimaan cukai. Misbakhun mengakui hal itu merupakan kewenangan penuh pemerintah. Politisi Partai Golkar itu berharap cukai plastik bisa dibahas secepatnya di Komisi XI DPR, lantaran plastik memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Apalagi pemerintah perlu melakukan diversifikasi cukai agar tidak terlalu bergantung pada penerimaan cukai rokok.
Pertumbuhan realisasi rasio pajak Indonesia semenjak beberapa tahun belakangan cukup mengecewakan, pasalnya menurut International Monetary Fund (IMF) pertumbuhan itu paling tidak mencapai 12,75%. Pemerintah beranggapan butuh berbagai terobosan untuk mendorong rasio pajak. Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak Yunirwansyah mengatakan terobosan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak bisa melalui keterbukaan akses informasi keuangan, maka kinerja rasio pajak bakal membaik. Dengan basis data itu, maka kemampuan otoritas pajak dalam memungut pajak kian meningkat.
Lebih merinci, sasaran utama Ditjen Pajak dari informasi keuangan itu adalah data penghasilan milik wajib pajak. jika data penghasilan banyak yang masuk, profil penghasilan wajib pajak khususnya Orang Pribadi non karyawan jua akan bertambah. Dengan bertambahnya data penghasilan tersebut, maka performa penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (OP) non karyawan juga bakal semakin meningkat. Mengingat, realisasi penerimaan PPh OP Karyawan Rp117,7 triliun atau lebih besar dibanding OP non karyawan yang hanya Rp7,83 triliun, terhitung per tanggal 31 Desember 2017.
Pemerintah memastikan insentif pajak berupa tax allowance dan tax holiday akan segera meluncur pada sidang kabinet selanjutnya di Istana Negara. Pembahasan itu dalam rangka mendorong investasi di Indonesia supaya lebih tinggi lagi, dengan memberi layanan insentif pajak. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui telah berdiskusi dengan Presiden RI Joko Widodo mengenai berbagai hal-hal yang perlu dilakukan untuk mendorong investasi lebih banyak lagi. Saat ini, Sri Mulyani tengah melakukan formulasi sejumlah insentif yang akan diberikan kepada dunia usaha, terutama dengan mengkaji insentif yang sudah berjalan.
Menurutnya insentif itu bisa dikenakan berbeda terhadap pelaku usaha dengan tujuan perluasan usaha, rintisan atau kegiatan usaha yang melibatkan pelatihan tenaga kerja. dengan demikian, pemerintah bisa melihat lebih detil mengenai struktur pembiayaan dan risiko dari investor. Selanjutnya, investor juga memiliki gambaran terkait dengan risiko yang didapatkan berbanding dengan tingkat pengembalian (return). Dia mengatkui ke depannya akan melihat bagaimana pemerintah bisa menggunakan pajak atau insentif lainnya dalam APBN untuk mengkompensasi berbagai risiko tersebut.
Utang luar negeri pemerintah Indonesia yang sudah mencapai US$177,32 miliar atau setara Rp2.393,82 triliun dianggap masih dalam batasan yang aman. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) kenaikan utang luar negeri itu mengimbangi peningkatan kebutuhan pembiayaan infrastruktur dan kegiatan produktif lainnya. Rasio utang Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan dengan negara tetangga seperti Filipina, Thailand, Malaysia maupun Vietnam yang melebihi 40% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara rasio utang Indonesia sekitar 34,82% terhadap PDB.
Ekonom BCA David Sumual mengatakan posisi utang Indonesia masih dalam taraf yang aman, meski sejak tahun 2015 utang luar negeri terus naik tapi ekonomi juga semakin pulih. Kendati demikian, David menyatakan pemerintah agar berhati-hati mengelola risiko utang luar negeri. Menurutnya pemerintah bsia memacu ekspor, sehingga kemampuan membayar utang juga meningkat. Utang luar negeri Indonesia akan naik lagi seiring tren laju ekonomi, utang pemerintah cukup mendominasi sementara swasta cenderung menahan diri. (Amu)