BEDAH BUKU TAX TREATY

Buku P3B-DDTC Bisa Jadi Referensi Memutus Sengketa

Redaksi DDTCNews
Senin, 31 Juli 2017 | 13.56 WIB
Buku P3B-DDTC Bisa Jadi Referensi Memutus Sengketa

Panelis bedah buku P3B (dari kiri) Kepala DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji, Pemred Beritapajak.com Parwito (moderator), Direktur Perpajakan Internasional John Hutagaol, dan Dosen UI Ning Rahayu.

JAKARTA, DDTCNews – Buku Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B): Panduan, Interpretasi dan Aplikasi hasil suntingan Darussalam dan Danny Septriadi bersama 3 panelis kompeten dinilai berguna untuk meningkatkan pemahaman mengenai tax treaty.

Dosen Senior Perpajakan Internasional Universitas Indonesia Ning Rahayu mengatakan bukan hanya mahasiswa yang perlu membaca buku tentang tax treaty ini, tetapi juga para hakim pajak sebagai referensi dalam memutus sengketa pajak.

“Buku ini akan sangat membantu mahasiswa , mengingat interpretasi mengenai tax treaty kan tipis dan kritis. Buku ini juga bisa menjadi referensi para hakim dalam memutus sengketa pajak internasional dengan adil,” ujarnya, Kamis malam (27/7).

Ning menjabarkan buku P3B versi DDTC juga akan bermanfaat bagi otoritas pajak, karena di lapangan banyak dispute yang disebabkan karena adanya kekeliruan dalam terapan tax treaty. Kekeliruan itu bisa terjadi baik kepada wajib pajak maupun otoritas pajak sendiri.

“Kekeliruan yang terjadi di lapangan itu bisa menimbulkan kerugian negara. Buku P3B ini akan sangat membantu fiskus dan wajib pajak, dan saya harap juga bisa mengurangi dispute terkait penerapan perpajakan internasional,” tuturnya.

Disamping itu, Ning yang juga sebagai salah satu panelis buku tersebut menegaskan tax treaty sejatinya bisa mengatasi permasalahan pajak berganda dan hal lainnya. Bahkan bisa juga ketentuan tax treaty untuk melakukan praktik penghindaran pajak yang bersifat agresif.

Menurutnya belakangan ini banyak sekali praktik penghindaran pajak internasional, Indonesia pun mengalami kasus tersebut yang mengaitkan salah satu perusahaan Over The Top (OTT) Google. Pemerintah cukup kesulitan dalam menagih pajak terutang Google Asia Pasific terhadap Indonesia.

“Kalau UU domestik Indonesia berbeda, meski tidak ada UU BUT, Indonesia tetap bisa memajaki semisal 20%. Misal kita cuma bisa pajaki 20% itu dari nilai pajak seharusnya sebutlah Rp100 ribu, jadi ya hanya bisa terpungut Rp20 ribu saja. Google memanfaatkan kelemahan tadi.” paparnya.

Ning menyadari kelamahan dalam kebijakan treaty Indonesia, seperti BUT (Bentuk Usaha Tetap), serta Virtual BUT yang rentan dimanfaatkan untuk aggresive tax planning. “Maka dari itu ada beberapa rekomendasi yang bisa dilakukan untuk atasi aggresive tax planning itu,” katanya. (Gfa/Amu).

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.