BEDAH BUKU TAX TREATY

Begini Kata Panelis tentang Buku P3B-DDTC

Redaksi DDTCNews
Senin, 31 Juli 2017 | 13.41 WIB
Begini Kata Panelis tentang Buku P3B-DDTC

Panelis bedah buku P3B (dari kiri) Kepala DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji, Pemred Beritapajak.com Parwito (moderator), Direktur Perpajakan Internasional John Hutagaol, dan Dosen UI Ning Rahayu.

JAKARTA, DDTCNews – Indonesia Fiscal Club (IFC), perkumpulan lintas profesi yang terbuka, independen dan nonpartisan, menggelar Diskusi Publik dan Bedah Buku Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B): Panduan, Interpretasi dan Aplikasi suntingan Darussalam dan Danny Septriadi.

Bedah buku pada Kamis malam (27/7) itu menghadirkan tiga panelis, yaitu Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Poltak Maruli John Liberty Hutagaol, Dosen Pajak Internasional Universitas Indonesia Ning Rahayu, dan Kepala DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji.

Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak P.M. John L. Hutagaol selaku panelis pertama dalam bedah buku tersebut mengatakan buku P3B ini bisa menjadi buku yang serba guna dan bisa dimanfaatkan untuk kalangan akademis.

“Buku ini serba guna, chapter by chapter tertata. Buku ini berisi kumpulan topik dengan bahasan cukup menarik yang menyangkut seputar P3B. Buku ini bisa dimanfaatkan untuk mahasiswa dan dosen yang membutuhkan informasi soal tax treaty,” ujarnya di Jakarta, Kamis malam (27/7).

John menjelaskan definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT) sudah berkembang sekarang, aturan antiavoidance pajak sudah sangat berkembang, begitu pula dengan standar-standar perpajakan global, sehingga, buku P3B tersebut akan sangat bermanfaat ke depan.

Di samping itu, menurutnya tax treaty yang merupakan pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang timbul dan diperoleh salah satu penduduk antar kedua negara masih menjadi persoalan yang harus diatasi. Pengenaan pajak kepada wajib pajak terkait akan diatur dalam perjanjian tersebut.

“Misalnya Indonesia dengan Malaysia, jika tidak ada penghasilan maka tax treaty itu sepenuhnya tunduk pada UU PPh (Pajak Penghasilan) Indonesia. Tapi karena ada bilateral tax agreement, maka pembagian hak pemajakan diatur di dalamnya,” tuturnya.

Dalam kasus itu, ia mempertanyakan keadaan status BUT yang timbul seiring dengan jasa yang diberikan wajib pajak Malaysia ke Indonesia. Pemajakan akan diserahkan ke wajib pajak Indonesia yang menjadi sumber jika ada status BUT, begitu pun sebaliknya.

“Kasus yang sama antara Indonesia dengan Singapura, hak pemajakan diserahkan ke Singapura, jadi Indonesia tidak memiliki hak pemahakan, malah bisa jadi non taxation, kekhawatiran ini yang sedang diatasi setiap negara,” katanya. (Gfa/Amu)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.