Ilustrasi.
COLOMBO, DDTCNews - Sri Lanka mengaku masih perlu lebih banyak waktu sebelum memutuskan untuk menyetujui proposal Pilar 1: Unified Approach dan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE).
Pemerintah Sri Lanka memandang solusi 2 pilar yang telah disepakati oleh 136 yurisdiksi Inclusive Framework tersebut memiliki konsekuensi yang amat besar terhadap kebijakan-kebijakan pajak Sri Lanka.
Kedua proposal memang akan mengurangi urgensi untuk menurunkan tarif pajak atau memberikan insentif. Meski demikian, keberadaan pajak minimum global juga berpotensi membatasi ruang pemerintah dalam menarik investasi.
"Investasi asing adalah bagian penting dari perekonomian kami. Bila kita mengenakan pajak 15% atas investasi asing, bagaimana mungkin kita akan menarik investasi di masa yang akan datang?" ujar Komisioner Inland Revenue Department H.M.W.C. Bandara, dikutip Senin (1/11/2021).
Bandara mengatakan masalah yang sejenis akibat pajak korporasi minimum global tak hanya dihadapi oleh Sri Lanka, melainkan juga negara-negara lain. Menurutnya, kebanyakan negara lebih memilih diam dan tidak bersuara seperti Sri Lanka.
Sri Lanka sendiri telah memberikan insentif tax holiday dengan durasi selama 40 tahun untuk korporasi multinasional yang berinvestasi pada Colombo Port City.
Dengan demikian, pajak korporasi minimum global dengan tarif 15% bukanlah ketentuan yang serta merta dapat disetujui oleh Sri Lanka dalam waktu singkat.
"Kebijakan perpajakan internasional adalah sesuatu yang kompleks. Meski demikian, mereka ingin segera memfinalisasi konsensus meski kami sesungguhnya masih memerlukan waktu untuk mempelajari kedua proposal," ujar Bandara seperti dilansir sundaytimes.lk.
Untuk diketahui, Sri Lanka adalah salah satu anggota Inclusive Framework yang belum menyetujui solusi 2 pilar yang diusung oleh OECD. Selain Sri Lanka, 3 negara yang belum menyetujui proposal Pilar 1 dan Pilar 2 adalah Pakistan, Kenya, dan Nigeria. (sap)