Ilustrasi. Kantor Pusat OECD di Paris, Prancis. (foto: oecd.org)
CHESHAM, DDTCNews – Tax Justice Network menilai proposal Pillar 1: Unified Approach dan Pillar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) dari OECD belum cukup komprehensif dalam mengatasi praktik penghindaran pajak melalui yurisdiksi suaka pajak.
Chief Executive Tax Justice Network Alex Cobham mengatakan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) masih belum mampu menawarkan proposal reformasi pajak internasional yang tepat.
"Proposal OECD sama sekali tidak mampu mengatasi praktik penggeseran laba menuju yurisdiksi suaka pajak sepanjang masih ada laba yang disisakan untuk dipajaki oleh negara besar," ujar Cobham dikutip dari taxjustice.net, dikutip Rabu (21/10/2020).
Tax Justice Network mengklaim terdapat pajak penghasilan korporasi sebesar US$500 miliar atau setara dengan Rp7.317 triliun yang masuk ke yurisdiksi suaka pajak setiap tahunnya dan tidak dapat dipajaki oleh negara yang berhak atas pajak tersebut.
Menurut Cobham, praktik penyelewengan pajak penghasilan korporasi sangat marak terjadi pada negara-negara berkembang. Padahal, negara-negara berkembang sangat membutuhkan dan sangat bergantung terhadap sumbangsih pajak dari korporasi.
Dia juga menilai proposal Pillar 1 dan Pillar 2 masih belum memihak kepada negara berkembang. Pasalnya, negara maju juga akan menikmati tambahan penerimaan negara yang sama besarnya dengan negara berkembang bila proposal Pillar 1 dan Pillar 2 diimplementasikan.
Tak hanya itu, Cobham menilai tarif pajak minimum pada Pillar 2 juga lebih menguntungkan negara maju mengingat banyaknya korporasi yang menempatkan kantor pusatnya di negara maju, bukan negara berkembang.
Di sisi lain, kegagalan tercapainya konsensus pajak digital pada 2020 menunjukkan OECD tidak mampu memimpin negara-negara Inclusive Framework mereformasi sistem perpajakan internasional dan pencegahan praktik base erosion and profit shifting (BEPS). (rig)