TURKI

Satu Dekade Ditangguhkan, Pajak Transaksi Valas Diberlakukan Lagi

Redaksi DDTCNews
Kamis, 16 Mei 2019 | 10.49 WIB
Satu Dekade Ditangguhkan, Pajak Transaksi Valas Diberlakukan Lagi

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews – Turki memberlakukan kembali pajak atas penjualan valuta asing (transaksi valas) setelah ditangguhkan selama satu dekade. Pemberlakukan kembali ini diambil untuk menjaga nilai tukar lira.

Menurut keputusan presiden yang baru diterbitkan pada Rabu (15/5/2019), pajak 0,1% ini akan diperkenalkan kembali untuk penjual valas. Namun, akan ada beberapa pengecualian yang diberikan oleh pemerintah terkait pengenaan pajak tersebut.

“Pengecualian akan dibuat untuk bank-bank yang menjual ke Departemen Keuangan, berdagang di antara mereka sendiri [pasar antarbank], dan untuk pembayaran kembali pinjaman atau utang valas,” demikian informasi dalam keputusan tersebut, seperti dikutip pada Kamis (16/5/2019).

Langkah ini menjadi bagian dari serangkaian langkah pemerintah untuk membendung kerugian lira. Apalagi, pada tahun lalu, krisis mata uang telah membuat lira kehilangan nilainya hingga 28% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Hal yang paling kontroversial pada Maret tahun lalu adalah saat bank lokal menghentikan perdagangan di perdagangan di pasar antarbank luar negeri. Selain itu, suku bunga dikerek hingga 1.300%. Masalah untuk lira juga masih berlanjut pada tahun ini.

Terhitung sejak Januari 2019 hingga sekarang, lira sudah melemah 13% terhadap dolar AS. Dengan performa itu, lira menjadi mata uang terburuk di antara pasar negara berkembang setelah peso Argentina.

Seperti dilansir ahvalnews.com, para pedagang dan analis mengatakan langkah itu adalah upaya untuk mencegah pembelian valuta asing. Koordinator Departemen Riset Garanti Securities Tufan Cömert mengatakan ada beberapa kebingungan tentang perdagangan mana pajak baru akan berlaku.

“Saat ini ada kebingungan yang mendalam di sektor ini. Perlu ada kejelasan segera tentang masalah seperti,” katanya.

Guillaume Tresca, ahli strategi pasar berkembang senior di Credit Agricole CIB mengatakan kebijakan ini mengirimkan sinyal yang salah ke pasar. Hal ini berisiko dapat mencegah ketertarikan orang asing untuk berinvestasi di Turki dalam jangka panjang. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.