Ilustrasi.
PADANG, DDTCNews – Pemprov Sumatera Barat tengah mengkaji kebijakan pembebasan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) II dan tarif progresif pajak kendaraan bermotor (PKB) yang diusulkan pemerintah pusat.
Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sumatera Barat Maswar Dedi mengatakan kebijakan tersebut berpotensi menggerus kas daerah mengingat 80% pendapatan daerah Sumatera Barat berasal dari pajak kendaraan.
"Kalau biayanya dibebaskan dan wajib pajak ternyata antusias membaliknamakan kendaraan serta menjadi wajib pajak yang taat maka kemungkinan potensi yang hilang dan pendapatan baru akan setara," katanya, dikutip pada Minggu (26/3/2023).
Untuk itu, lanjut Maswar, potensi BBNKB II dan pajak progresif yang hilang perlu diimbangi dengan penambahan wajib pajak. Bila tidak ada penambahan wajib pajak maka penghapusan BBNKB II dan tarif progresif PKB perlu dikaji lebih dalam lagi.
Saat ini, pemprov telah memberikan fasilitas pembebasan BBNKB II sejak 2 Maret hingga 2 Mei 2023 lewat program Triple Untung.
"Kami fokus menjalankan program ini dulu sambil mengkaji penerapan pembebasan BBNKB II dan pajak progresif ini," tutur Maswar seperti dilansir elshinta.com.
Perlu diketahui, penyerahan kendaraan bermotor bekas resmi ditetapkan sebagai non-objek BBNKB seiring dengan diundangkannya UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Pada Pasal 12 ayat (1) UU HKPD, telah disebutkan bahwa objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas kendaraan bermotor.
"Untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas kendaraan bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB," bunyi ayat penjelas Pasal 12 ayat (1) UU HKPD.
Ketentuan BBNKB pada UU HKPD mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya UU HKPD. Artinya, pembebasan BBNKB atas kendaraan bermotor bekas bakal berlaku secara nasional paling lambat pada 5 Januari 2025.
Terkait dengan tarif progresif PKB, UU HKPD mengatur kepemilikan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya dapat dikenai pajak secara progresif paling tinggi sebesar 6% ditambah dengan opsen PKB sebesar 66%. (rig)