Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Wajib pajak yang terindikasi melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan sedang dilakukan penyidikan punya peluang untuk mengajukan penghentian penyidikan kepada menteri keuangan.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan (3) PMK 55/2016 setelah permohonan disampaikan, menteri keuangan dapat mengajukan permintaan penghentian penyidikan kepada jaksa agung atas tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak.
“Permohonan kepada menteri keuangan diajukan oleh wajib pajak, wakil wajib pajak, atau kuasa wajib pajak yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan,” bunyi penggalan Pasal 2 ayat (3) PMK 55/2016, dikutip pada Selasa (28/2/2023).
Namun, berdasarkan Pasal 3 ayat (1) PMK 55/2016 permohonan penghentian penyidikan hanya dapat disampaikan apabila wajib pajak sudah melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan beserta sanksi administrasi berupa denda.
Adapun besaran pelunasan yang harus dilunasi oleh wajib pajak agar dapat melakukan permohonan penghentian penyidikan tindak pidana pajak diatur dalam Pasal 44B ayat (2) UU KUP s.t.d.t.d UU 7/2021.
Kemudian, terkait dengan ketentuan formal permintaan penghentian penyidikan diatur lebih lanjut dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) PMK 55/2016. Berikut ini 3 poin ketentuannya.
Pertama, pengajuan dilakukan oleh yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) PMK 55/2016 kepada menteri keuangan dengan tembusan ke direktur jenderal pajak.
Kedua, permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan pengakuan bersalah. Permohonan ditandatangani oleh wajib pajak yang bersangkutan.
Ketiga, permohonan dilampiri juga oleh bukti surat setoran pajak atas pembayaran pelunasan pajak yang harus dibayar beserta besaran sanksi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) UU KUP s.t.d.t.d UU 7/2021. (sap)