LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Bedah Narasi Pajak dalam Program Kampanye Capres

Redaksi DDTCNews | Kamis, 10 Januari 2019 | 17:35 WIB
Bedah Narasi Pajak dalam Program Kampanye Capres
Sevi Wening Perwitasari, PKN STAN Bintaro

DALAM berbagai media, kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden telah menyampaikan rencana program dan kebijakan yang akan ditempuh setelah terpilih. Adu argumen dalam berbagai isu yang dikemukakan masyarakat tidak terelakkan termasuk dalam masalah ekonomi dan pajak.

Pajak mau tidak mau akan menjadi bagian integral dari masalah ekonomi bangsa karena saat ini pajak adalah sumber utama penerimaan APBN. Target pajak 2018 mencapai Rp1.618,1 triliun, atau 72,86% dari total anggaran belanja pada APBN 2018. Jika pajak dimanfaatkan sebagai instrument fiskal secara memadai, bukan tidak mungkin geliat perekonomian akan membawa angin segar pascapemilu.

Pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin mengambil langkah untuk melanjutkan reformasi perpajakan yang telah dilaksanakan selama ini dan program pemberian insentif pajak kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Sementara itu, kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno setidaknya menyebutkan 5 rencana kebijakan perpajakan yang akan dilaksanakan setelah terpilih, antara lain penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) 21, penaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), penghapusan pajak bumi dan bangunan (PBB) atas rumah tinggal utama dan pertama, reformasi birokrasi perpajakan dan kebijakan pajak yang mendukung akses buku murah.

Baik program Jokowi maupun Prabowo sama-sama mendapatkan kritik, termasuk dianggap kurang realistis dan konkret. Oleh karena itu, perlu dianalisis lebih dalam tentang program pajak yang ditawarkan tersebut.

Dalam kurun 5 tahun pemerintahan Jokowi, melalui publikasi Kementerian Keuangan Nomor 19/KLI/2017 tanggal 3 April 2017, setidaknya terdapat beberapa elemen reformasi yang dianggap mampu mengoptimalkan penerimaan negara dan kepastian usaha.

Ada 3 bidang utama yang direformasi yakni teknologi informasi dan basis data, sumber daya manusia, dan regulasi. Pengajuan paket RUU perpajakan, perbaikan proses bisnis, dan penguatan basis data wajib pajak termasuk di dalamnya. Jika dikaitkan dengan program pemilu yang disampaikan, setidaknya tiga aspek tersebutlah yang akan terus digarap oleh kubu Jokowi jika terpilih.

Menilik dari langkah-langkah reformasi tersebut, kebijakan kubu Jokowi masih sangat dekat dengan upaya untuk meningkatkan kepatuhan pajak yang diiringi dengan penguatan sumber daya informasi pajak.

Setelah adanya pertukaran informasi secara otomatis (AEoI), tax amnesty, dan perubahan proses bisnis dari manual ke elektronik seperti penggunaan e-faktur setidaknya menggambarkan otoritas pajak tidak lagi ingin kecolongan dalam mengejar penerimaan dari wajib pajak (WP) terdaftar, terutama saat tax audit coverage Ditjen Pajak (DJP) saat ini masih rendah, 0,45% pada 2017.

Kualitas basis data pajak yang juga belum dapat dikatakan baik ditengarai sebagai salah satu pemicu masih rendahnya tax ratio, walaupun PTKP telah dinaikkan 5 kali mulai 2005 sampai dengan 2016 dan tarif PPh badan di Indonesia telah diturunkan mulai dari 30% pada 2008 menjadi 25% pada 2016.

Program insentif untuk UMKM juga bukan hal yang baru karena tarif pajak UKM telah diturunkan yang sebelumnya 1% dari omzet kurang dari Rp4,8 miliar/ tahun menjadi hanya 0,5% pada April 2018. Belum ditemukan informasi tentang bentuk insentif apa yang akan diberikan kepada UMKM setelah adanya penurunan tarif tersebut.

Satu hal yang dapat diambil dari kebijakan tersebut adalah tujuan yang ingin dicapai yakni meningkatnya geliat ekonomi di Indonesia. Dari dua program kampanye pajak yang diorasikan oleh Jokowi, secara tersirat tidak akan ada perubahan yang mencolok dari kebijakan perpajakan yang digulirkan.

Kubu Prabowo sebagai oposisi tentunya akan memiliki pandangan yang berbeda atau langkah yang mungkin lebih radikal dibandingkan program petahana. Programnya yang ingin menurunkan utang dibarengi menaikkan PTKP dan menurunkan tarif PPh 21 hingga penghapusan PBB dikritisi sebagai program yang bertolak belakang.

Saat penerimaan pajak tidak mampu mencukupi anggaran belanja, penaikan PTKP dan penurunan tarif PPh 21 dianggap tidak solutif dan justru memungkinkan penambahan utang karena pelebaran defisit.

Akan tetapi, pernyataan yang dinilai kontradiksi tersebut perlu diuji lagi tingkat kedalamannya. Beberapa dari program tersebut sebenarnya merupakan visi yang cukup baik jika dapat diimplementasikan dan dikawal dengan hati-hati.

Dalam konteks ekonomi, pajak berperan penting sebagai sumber penerimaan dan secara teoritis dapat sebagai alat pemerataan. Dengan kebijakan pajak yang optimal, manfaat marginal dari pendapatan akan terdistribusi dengan lebih merata karena beban pajak telah didesain menuju titik optimal baik dalam konteks produksi maupun konsumsi.

Akan tetapi, hal tersebut menjadi seakan-akan utopis karena distorsi dua arah yang dihasilkan oleh pajak. Pajak yang terlalu memberatkan dalam ekonomi akan menghambat pertumbuhan terutama untuk sektor investasi dan usaha.

Sementara itu, pajak yang diatur pada tingkat rendah mungkin juga tidak akan memberikan banyak kontribusi karena naluri dasar wajib pajak untuk melakukan penghindaran. Oleh karena itu, optimum tax theory menjadi sulit diterapkan secara serta-merta, terutama jika dibawa ke ranah politik.

Terlepas dari masalah utopisme, program yang disampaikan Prabowo pada dasarnya menuju ke arah penguatan dan kemandirian ekonomi dengan menggabungkan kebijakan utang produktif dengan pajak yang mendukung konsumsi.

Sayang sekali tidak ditemukan paparan komprehensif terkait teknis model kebijakan yang akan digulirkan, tetapi dalam konteks penguatan tersebut, program Prabowo juga bukan berarti tidak mungkin.

Penghapusan PBB bukan program yang buruk untuk meningkatkan pendapatan perkapita penduduk. Rumah utama dan pertama adalah bagian dari kebutuhan dasar, sehingga pengenaan atas rumah kedua atau pergeseran ke arah land value tax lebih relevan terutama dari kacamata peningkatan daya beli, pemerataan pendapatan dan optimalisasi pemanfaatan lahan.

Terkait dengan reformasi perpajakan, arah reformasi yang dituju oleh petahana dalam masa pemerintahannya sudah cukup jelas. Optimalisasi teknologi informasi, perubahan struktur dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang ditambah dengan penguatan basis data perpajakan adalah hal yang paling mungkin untuk dilakukan oleh pemerintah dalam upaya menjaring penerimaan perpajakan seluas-luasnya.

Pajak adalah hal konservatif yang harus dinamis sesuai dengan lingkungan bisnis, mengejar perubahan dengan teknologi dan kemampuan adaptasi adalah hal yang mutlak. Alangkah baiknya jika program reformasi Prabowo mendukung percepatan program sebelumnya dan bukan justru mendistorsi proses perubahan apabila terpilih. Change management adalah hal yang diperlukan dalam penangangan program reformasi ini.

Di sisi lain, penaikan PTKP dan penurunan tarif PPh 21 ditujukan untuk peningkatan daya beli. Akan tetapi, perlu dilihat tingkat sensistivitas perubahan PTKP terhadap potensi penerimaan pajak pada tahun mendatang.

Terlepas dari keinginan untuk tidak berutang, kebijakan defisit yang telah ditempuh selama ini menyisakan cukup banyak mandatory spending yang harus dikelola dalam pemerintahan. Dengan demikian, penting untuk menyelaraskan outlook dari potensi penurunan penerimaan pajak dengan kebutuhan pendanaan program lainnya. Akan lebih baik untuk meninjau tarif progresif atau perubahan struktur dan komponen dalam PTKP daripada sekadar penaikan.

Terakhir, kebijakan perpajakan untuk buku sangat menarik terutama untuk pengembangan kualitas SDM dan pendidikan. Akan tetapi, pajak apa yang harus dibebaskan atas buku? Menurut PMK 122 Tahun 2013, beberapa jenis buku, terutama terkait dengan ilmu pengetahuan telah mendapatkan insentif berupa pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN), dan pungutan PPh 22.

Jika yang dikritisi adalah mahalnya harga buku, perlu ditinjau secara root cause dari sisi jenis buku apa yang mahal, berapa perkiraan biaya produksi, dan model distribusinya. Hal paling mungkin adalah pemutakhiran jenis buku yang mendapat insentif pajak. Selebihnya, penguatan sinergi dalam implementasi adalah hal yang diperlukan agar insentif tersebut dapat dinikmati oleh semua pihak.

Tiada gading yang tak retak, program kedua calon memiliki kelebihan dan kekurangan. Hal baiknya akan terjadi ketika kedua pasangan calon mampu lebih memberikan gambaran komprehensif atas visi-misinya, dan mampu bersikap terbuka ketika menang nantinya.

Bukan tidak mungkin bila kombinasi program antara pasangan calon terpilih dengan yang kalah nantinya justru adalah kebijakan optimal bagi pajak saat ini. Terus dukung reformasi perpajakan dan kebijakan pemerintah dengan mengawal transparansi implementasi program demi terciptanya nuansa bernegara yang bersih dari korupsi, damai, menuju sejahtera.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 04 Maret 2024 | 11:30 WIB LAPORAN KINERJA DJP 2023

DJP Belanjakan Rp34,34 Miliar untuk Bangun Coretax System pada 2023

Sabtu, 02 Maret 2024 | 13:30 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Perubahan Struktur Penerimaan Perpajakan RI pada Awal Reformasi Pajak

BERITA PILIHAN