UNDANG-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) membawa beragam perubahan terhadap ketentuan pajak daerah. Berlakunya UU HKPD, sekaligus mencabut UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Salah satu sektor pajak yang mengalami perubahan signifikan adalah pajak restoran. Jika membaca sekilas, UU HKPD tidak lagi menyebutkan istilah pajak restoran. Namun, hal tidak berarti eksistensi pajak restoran hilang.
Sebab, pajak yang dikenakan kepada pelanggan restoran tertentu ini bertransformasi menjadi PBJT atas makanan dan/atau minuman. Lantas, apa itu PBJT atas makanan dan/atau minuman?
PBJT merupakan nomenklatur pajak baru yang diatur dalam UU HKPD. Pada dasarnya, PBJT merupakan integrasi 5 jenis pajak daerah dalam UU PDRD yang berbasis konsumsi, yaitu pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak parkir, dan pajak penerangan jalan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 42 UU HKPD, PBJT adalah pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu. Barang dan/atau jasa tertentu yang menjadi objek PBJT tersebut di antaranya adalah makanan dan/atau minuman. Simak Apa Itu Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)?
Berdasarkan Pasal 1 angka 44 UU HKPD, makanan dan/atau minum yang dimaksud dalam konteks ini adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
Lebih lanjut, PBJT atas makanan dan/atau minuman berarti PBJT yang dikenakan atas penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh:
Tidak semua penyerahan makanan dan/atau minuman dikenakan PBJT. Pemerintah telah mengatur 4 jenis penyerahan makanan dan/atau minuman yang dapat dikecualikan dari pengenaan PBJT.
Pertama, penyerahan makanan dan/atau minuman dengan peredaran usaha tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dalam peraturan daerah. Misal, Pemerintah Kota Bogor mengecualikan penyerahan makanan dan/atau minuman dengan peredaran usaha tidak lebih dari Rp120 juta.
Sementara itu, Pemprov DKI Jakarta mengecualikan penyerahan makanan dan/atau minuman dengan peredaran usaha tidak lebih dari Rp42 juta per bulan (tidak berlaku untuk penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman yang dilakukan secara insidental).
Kedua, penyerahan makanan dan/atau minuman yang dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual makanan dan/atau minuman. Adapun penyerahan makanan dan/atau minuman dilakukan oleh toko swalayan tersebut dikenakan PPN.
Ketiga, penyerahan makanan dan/atau minuman yang dilakukan oleh pabrik makanan dan/atau minuman. Penyerahan makanan dan/atau minuman yang dilakukan pabrik tersebut dikenakan PPN.
Keempat, disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara. Penyediaan makanan dan/atau minuman tersebut dikenakan PPN.
Berbeda dengan PPN yang merupakan wewenang pemerintah pusat, PBJT atas makanan dan/atau minuman menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu, perincian ketentuan PBJT atas makanan dan/atau bisa bervariasi antar daerah karena tergantung pada perda masing-masing.
Perbedaan tersebut terutama terkait dengan batasan peredaran usaha yang tidak dikenakan PBJT dan tarif. Perincian ketentuan mengenai PBJT atas makanan dan/atau minuman dapat disimak dalam UU HKPD, Peraturan Pemerintah (PP) 35/2023, dan PMK 70/2022. (rig)