SEJAK diundangkannya UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), pemerintah mencanangkan pungutan pajak rokok. Pajak rokok dikenakan dalam rangka membatasi konsumsi rokok dan peredaran rokok ilegal.
Pajak rokok juga dipungut guna melindungi masyarakat dari dampak negatif rokok. Selain itu, sebagian dari hasil pemungutan pajak rokok dialokasikan untuk membiayai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
Dalam perkembangannya, pemerintah menyesuaikan ketentuan pajak rokok. Penyesuaian ketentuan pajak rokok tersebut dilakukan melalui UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Sehubungan dengan penyesuaian tersebut, Kementerian Keuangan mengundangkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 143/2023 tentang Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, Dan Penyetoran Pajak Rokok. Lantas, seperti apa definisi pajak rokok di UU HKPD?
PAJAK rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah (Pasal 1 angka 54 UU HKPD). Pemungutan pajak rokok menjadi kewenangan pemerintah provinsi. (Pasal 4 ayat (1) huruf f UU HKPD).
Pajak rokok ini dikenakan atas konsumsi rokok baik berupa sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok. Pengenaan pajak rokok juga menyasar rokok elektrik (Pasal 2 ayat (2) PMK 143/2023).
Apabila dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya, jenis rokok yang diatur dalam UU HKPD lebih luas. Sebab, UU PDRD belum mengakomodasi pengenaan pajak rokok terhadap bentuk rokok lainnya, termasuk rokok elektrik.
Sementara itu, subjek pajak rokok adalah konsumen rokok. Adapun pihak yang ditetapkan sebagai wajib pajak rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai (NPPBKC).
Pajak rokok dikenakan atas cukai yang ditetapkan pemerintah dengan tarif sebesar 10% dari cukai rokok. Kendati merupakan kewenangan pemerintah daerah, pemungutan pajak rokok dilakukan oleh Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
Pajak rokok yang telah dipungut tersebut selanjutnya akan disetorkan ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk. Sama seperti sebelumnya, pajak rokok dikenakan dengan tarif 10% dari cukai rokok.
Besaran pokok pajak rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan cukai rokok dengan tarif pajak rokok. Misal, terdapat sebungkus rokok jenis SKM (Sigaret Kretek Mesin) golongan 1 yang berisi 16 batang.
Berdasarkan PMK No. 191/2022, rokok jenis ini dikenakan tarif cukai Rp1.231/batang pada 2024. Atas sebungkus rokok ini akan dikenakan cukai dengan cara mengalikan tarif cukai dengan jumlah batang rokok. Berarti, cukai yang akan dipungut adalah Rp1.231 x 16 batang =19.696.
Selanjutnya, sebungkus rokok tersebut dikenakan pajak rokok. Besaran pajak rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak rokok dengan besaran cukai yang dipungut. Dengan demikian, besaran pajak rokok yang dipungut adalah 10%x 19.696=1.
Tambahan informasi, sebagian hasil setoran pajak rokok, baik bagian provinsi maupun kabupaten atau kota, harus dialokasikan untuk mendukung penyelenggaraan program jaminan kesehatan. Penerimaan pajak yang sudah ditentukan penggunaannya ini biasa disebut sebagai earmarking tax. Simak ‘Apa Itu Earmarking Tax?’. (rig)