PASAL 23A UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 (selanjutnya akan disebut UU KUP) mendefinisikan pajak sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari sudut pandang kesepakatan antara otoritas pajak yang menjalankan fungsi pemungutan dan wajib pajak sebagai pihak yang dikenakan pajak, sebagaimana tertuang dalam Penjelasan atas UU KUP tahun 1983, menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam bidang kenegaraan.
Disisi lain, dalam suatu negara yang mengakui adanya hak milik pribadi, pajak dipandang sebagai pengambilan sebagian harta milik rakyat oleh negara. Indonesia, berdasarkan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, mengakui adanya hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 23A dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, pajak hendaknya tidak hanya dipandang sebagai kewajiban kenegaraan saja, tetapi juga dipandang sebagai pengambilan sebagian harta oleh negara yang tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang.
Lantas, apa yang menjadi ukurannya agar pajak sebagai kewajiban kenegaraan tidak dikenakan secara sewenang-wenang?
Pasal 23A UUD 1945 dan UU KUP telah menyatakan secara tegas bahwa ukurannya adalah harus diatur dan berdasarkan undang-undang serta ketentuan turunannya yang harus sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tentu juga, prinsip pemungutan pajak harus tetap berdasarkan kepastian dan keadilan.
Prinsip pajak harus diatur dan berdasarkan undang-undang telah lama dikumandangkan. Salah satunya oleh seorang pejuang pra Revolusi Amerika yaitu James Ostis, sebagaimana dikutip oleh Tibor R. Machan (2008), apabila pajak dikenakan diluar yang diatur atau tidak berdasarkan undang-undang adalah suatu bentuk kesewenangan (Taxation without representation is tyranny).
Terkait dengan dua pendekatan dalam memandang pajak, maka diperlukan pihak ketiga yang independen dan berperan sebagai badan peradilan pajak yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk:
Siapa yang dimaksud dengan badan peradilan pajak di atas? Yaitu, Pengadilan Pajak yang berperan sebagai badan peradilan pajak yang menjalankan fungsi kehakiman. Hal ini didasarkan atas Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya yaitu (i) peradilan umum, (ii) peradilan agama, (iii) peradilan militer, dan (iv) peradilan tata usaha negara, serta sebuah Mahkamah Konstitusi.
Lebih lanjut, Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa pengadilan khusus dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan. Penjelasan Pasal 15 ayat (1) tersebut mengatakan bahwa pengadilan khusus dalam ketentuan ini antara lain Pengadilan Pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara. Selain itu, keberadaan Pengadilan Pajak itu sendiri juga didasarkan amanat Pasal 27 UU KUP.
Berdasarkan uraian di atas dan bunyi Pasal 2 UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, hakekat dari keberadaan Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.