KONSULTASI PAJAK

Wajib Pajak Merugi Bakal Dipajaki?

Kamis, 17 Juni 2021 | 16:01 WIB
Wajib Pajak Merugi Bakal Dipajaki?

Awwaliatul Mukarromah,
DDTC Fiscal Research. 

Pertanyaan:
PERKENALKAN nama saya Ganda. Saat ini saya bekerja sebagai manager pajak di salah satu perusahaan start-up di Jakarta. Perusahaan kami baru berdiri pada tahun 2019. Hingga saat ini, status perusahaan kami masih merugi.

Lantas, belakangan ini saya mendapat informasi dari berbagai media nasional bahwa pemerintah akan mengenakan pajak penghasilan (PPh) minimum bagi perusahaan dengan status rugi. Apakah benar demikian? Seperti apa konsepnya jika kebijakan ini benar-benar diterapkan? Mohon pencerahannya.

Ganda, Jakarta.

Jawaban:
TERIMA kasih Bapak Ganda atas pertanyaannya. Saat ini memang terdapat pemberitaan mengenai berbagai agenda reformasi perpajakan di berbagai media nasional. Salah satu wacananya adalah rencana pengenaan PPh minimum bagi perusahaan dengan kriteria tertentu.

Namun demikian, hingga saat ini pemerintah belum memberikan pernyataan resmi dan rinci apakah rencana kebijakan ini akan benar-benar diterapkan di Indonesia dan seperti apa skema pengenaannya nanti.

Walau demikian, untuk menjawab pertanyaan Bapak, ada baiknya kita pahami dulu mengenai konsep pengenaan PPh minimum ini.

Secara istilah, pengenaan PPh minimum ini sering disebut dengan alternative minimum tax (AMT). AMT sendiri dapat diartikan sebagai jenis pengenaan pajak yang didesain untuk menghindari perusahaan dari tidak membayar pajak atau membayar terlalu kecil dibandingkan dengan penghasilan mereka.

Dengan kata lain, pada dasarnya penerapan AMT ditujukan untuk mengatasi upaya penghindaran pajak (tax avoidance) yang dilakukan oleh perusahaan. Kondisi perusahaan yang merugi secara terus-menerus dapat menjadi indikasi awal adanya penghindaran pajak. Walaupun tidak selalu demikian. Oleh sebab itu, desain atau skema penerapan AMT pada umumnya lebih menyasar pada perusahaan yang melakukan kerugian ‘artifisial’.

Selain itu, penerapan AMT juga tidak bersifat opsional, tetapi berjalan paralel dengan rezim PPh yang berlaku. Dalam hal ini, nilai pajak terutang wajib pajak badan akan tetap dihitung baik dengan menggunakan rezim PPh badan normal maupun AMT.

Jika nilai pajak terutang dari rezim normal PPh badan lebih tinggi dari hasil perhitungan rezim AMT, otoritas pajak menggunakan nilai pajak terutang dari rezim normal. Hal ini pun berlaku sebaliknya.

Dalam penghitungannya, AMT menggunakan indikator alternatif di luar penghasilan kena pajak yang umumnya dipergunakan sebagai basis pajak. Indikator alternatif yang kerap digunakan adalah nilai peredaran bruto. Selain itu, terdapat pula indikator lain seperti nilai total aset, aset bersih, maupun perhitungan basis pajak berbasis penyesuaian pengurang penghasilan juga dipergunakan (reconstruction of income).

Pada praktiknya, dalam rangka memastikan agar AMT tepat sasaran, terdapat kriteria wajib pajak tertentu yang dikecualikan. Salah satunya dengan mengecualikan perusahaan yang baru berdiri, di mana perusahan baru tersebut biasanya masih mengalami kerugian di fase awal bisnis.

Contohnya adalah Filipina. Negara ini menerapkan AMT dengan tarif 2% atas peredaran bruto dan hanya dikenakan bagi perusahaan yang telah beroperasi selama 4 tahun. Artinya, bagi perusahaan start-up tidak dikenakan AMT dulu sebelum mereka beroperasi selama 4 tahun.

Sebagai ilustrasi, misalkan perusahaan A telah beroperasi selama lebih dari 4 tahun dengan omzet tahun pajak terakhir sebesar USD200.000 dan penghasilan bersih yang dikenai pajak USD10.000. Tarif PPh badan sebesar 20%.

Apabila dihitung secara normal, PPh badan terutang sebesar 20% x USD10.000 = USD2.000. Sementara apabila dihitung dengan AMT, PPh terutang menjadi sebesar 2% x USD200.000 = USD4.000. Dalam kasus ini, perusahaan A harus membayar PPh sebesar USD4.000 karena jumlah perhitungan AMT lebih besar dibandingkan dengan perhitungan PPh badan secara normal.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa AMT diterapkan agar setiap korporasi setidaknya membayar ‘suatu nilai pajak minimum’ kepada negara atau sebagai safeguard. Tentunya, skema nilai pajak minimumnya berbeda di masing-masing negara.

Satu hal yang pasti, secara international best practices, rezim AMT umumnya hanya berlaku bagi wajib pajak badan dengan kriteria tertentu. Untuk itu, mari kita menunggu bagaimana langkah pemerintah ke depan terkait rencana kebijakan AMT ini.

Demikian jawaban kami, semoga membantu.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

27 Juni 2021 | 09:37 WIB

detail, jelas dan mudah dipahami. tks

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 14 Maret 2024 | 16:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Punya Cabang tapi Belum Pemusatan PPN, Bagaimana Cara Pengajuannya?

Senin, 11 Maret 2024 | 14:30 WIB UNIVERSITAS INDONESIA

Mau Tanya Soal Pelaporan SPT? Klinik Pajak UI Buka Layanan Konsultasi

Kamis, 07 Maret 2024 | 16:32 WIB KONSULTASI PAJAK

Badan Baru Hasil Spin-Off Dapat Tambahan Modal, Bisa Pakai Nilai Buku?

Jumat, 01 Maret 2024 | 16:10 WIB KONSULTASI PAJAK

Karyawan Baru Dapat Fasilitas Mobil, Bagaimana Cara Hitung PPh-nya?

BERITA PILIHAN