Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Barito, Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Rabu (1/9/2021).  ANTARA FOTO/Makna Zaezar/rwa.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah menetapkan wajib pajak badan sebagai prioritas subjek atas penerapan kebijakan pajak karbon mulai tahun depan.Â
UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menyatakan pada tahap awal ada 3 periode waktu implementasi pajak karbon. Pertama, periode tahun 2021.
"Tahun 2021, dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon," tulis penjelasan UU HPP Pasal 12 ayat (3) dikutip pada Rabu (13/10/2021).
Periode kedua berlaku pada kurun waktu 2022 hingga 2024. Pada tahap ini diterapkan mekanisme pajak berdasarkan batas emisi atau cap & tax. Mekanisme pajak karbon pada periode ini berlaku untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada tenaga uap (PLTU) batu bara.
Ketiga, berlaku pada tahun fiskal 2025 dan setelahnya. Pemerintah melakukan implementasi skema perdagangan karbon secara penuh dan memperluas basis subjek pajak karbon. Proses bisnis ini dilakukan secara bertahap.
Pertimbangan pemerintah untuk memperluas basis pemajakan atas emisi karbon seusuai dengan kesiapan sektor usaha terkait. Kemudian kondisi ekonomi nasional dan dampak kebijakan yang akan ditimbulkan. Wajib pajak badan masih menjadi prioritas sebagai subjek pajak karbon.
"Penerapan pajak karbon mengutamakan pengaturan atas subjek pajak badan," bunyi beleid tersebut.
Nantinya,Tarif pajak karbon akan dibuat lebih tinggi daripada atau sama dengan harga karbon di pasar karbon domestik. Ketentuan pajak karbon akan dimulai pada 1 April 2020 dengan pengenaan pertama terhadap badan PLTU batu bara dengan tarif Rp30 per per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Dalam UU HPP, ada pula pemberian pengurangan pajak karbon dan/atau perlakuan lainnya untuk wajib pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon, pengimbangan emisi karbon, dan/atau mekanisme lain sesuai peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. (sap)