Chairman of the Forum on Economic and Fiscal Policy Ramon Dwarkasing saat berkunjung ke Menara DDTC, Selasa (3/3/2019).
JAKARTA, DDTCNews – Lanskap pajak global maupun domestik telah berubah. Dengan demikian, perlu respons kebijakan yang cepat dan tepat atas perubahan tersebut.
Chairman of the Forum on Economic and Fiscal Policy (FEFP) Ramon Dwarkasing menilai perubahan lanskap itu juga dipengaruhi oleh pergeseran cara berpikir masyarakat terhadap pentingnya pajak, terutama di era digitalisasi.
FEFP merupakan lembaga non-profit sekaligus think tank internasional yang berbasis di The Hague, Belanda, Eropa. Salah satu profesional DDTC pernah menjadi perwakilan dari Indonesia untuk menghadiri acara FEFP di Amsterdam pada 2016 silam.
DDTCNews berkesempatan untuk mewawancarai lulusan Transfer Pricing/International Tax Law di Tilburg University ini secara langsung, di sela-sela kunjungannya ke Menara DDTC pada Selasa (3/3/2019). DDTCNews ingin untuk mencari tahu perspektifnya terkait perubahan lanskap pajak tersebut.
Sekadar informasi, Ramon juga merupakan penulis buku ‘Associated Enterprises - A Concept Essential for the Application of the Arm's Length Principle and Transfer Pricing’. Buku tersebut juga bisa Anda baca di DDTC Library. Berikut kutipan wawancaranya:
Lanskap pajak global dan domestik disebut telah berubah karena era transparansi dan perkembangan teknologi digital. Bagaimana menurut Anda?
Pendorong utama perubahan adalah geopolitik. Ketika Anda melihat lima tahun lalu, sebelum pemilihan Trump [Presiden Amerika Serikat], kita semua berpikir akan ada satu model perjanjian pajak universal. Semua orang akan mewajibkan dan mengikuti model ini.
Namun, hari ini, Anda melihat adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Ada juga ketegangan yang terjadi karena beberapa negara di Uni Eropa mengenakan pajak [digital] kepada perusahaan asal Amerika Serikat. Semua masalah bercampur aduk.
Dari sana terlihat bahwa kita tidak memandang kepentingan orang lain. Setiap negara melihat kepentingan masing-masing. Jadi, setiap negara melindungi kepentingannya. Apa dasar dari kepentingan ini? Hal pertama adalah keamanan.
Setiap kali Uni Eropa melakukan sesuatu, itu untuk kepentingan politik yang kemudian akan menjadi kepentingan ekonomi. Saat ini, jika kita melihat cara berpikirnya, mengapa Uni Eropa melindungi industri teknologi informasinya sendiri? Jika melihat ke China dan India, mereka akan melihat artificial intelligence. Perkembangan artificial intelligence ini akan berlangsung di China.
Jika sudah mendapat artificial intelligence dalam kekuasaan Anda, Anda yang akan menentukan arah 3 dekade selanjutnya. Beberapa tahun lalu, Eropa telah berinvestasi cukup besar dalam hal inovasi. Langkah ini telah memunculkan beberapa perusahaan multinasional.
AS juga telah melakukan hal yang sama. Namun, sekarang mereka sangat takut akan kehilangan langkah ini. Hal tersebut tentunya memiliki dampak geopolitik yang serius. Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa China yang tidak diperbolehkan untuk masuk ke Amerika Serikat. Itu semua tentang politik.
Apa yang bisa dilakukan sebagai respons atas kondisi tersebut?
Sekarang, untuk memahami apa arah yang akan kita tuju dengan kebijakan pajak, kita harus memahami dinamika politik. Jika kita memahami dinamika politik, kita akan bisa memahami dinamika kebijakan pajak. Ini soal bagaimana kita harus melihat.
Dalam perusahaan, akan muncul banyak pertanyaan mengenai apa yang bisa terjadi dan apa yang tidak akan terjadi. Jadi, hal tersebut mengenai bagaimana kita harus melihat pada hubungan multilateralisme dalam gambaran menyeluruh (big picture).
Jika melihat dari sisi mikro, terutama di tingkat korporasi, ada satu hal yang penting. Pada masa lalu, perusahaan hanya berorientasi pada pemegang saham melalui capaian keuntungan. Itu yang utama dan pajak sebagai salah satu instrumen yang juga dipakai untuk meningkatkan keuntungan.
Hari ini, pemegang saham bukanlah stakeholder utama lagi. Stakeholder utama saat ini adalah masyarakat. Ada bisa lihat adanya deklarasi beberapa perusahaan besar di AS, saya kira satu minggu yang lalu. Mereka menandatangani deklarasi dan mengumumkan bahwa pencapaian keuntungan tidak ada artinya [bukan yang utama]. Stakeholder utama sekarang adalah masyarakat, baru berpikir masalah keuntungan.
Tentu kita berpikir bahwa mereka akan memilih uang dalam situasi itu. Namun, fakta bahwa mereka telah menandatangani itu menunjukkan bahwa cara berpikir berubah. Selangkah demi selangkah ada perubahan yang terjadi.
Apakah ada contoh lain yang menggambarkan pentingnya posisi masyarakat sebagai pembayar pajak?
Memang masyarakat itu sendiri yang berperan penting dan dalam negara diwakili oleh Parlemen. Inilah yang terjadi di Eropa sehingga memunculkan usulan undang-undang yang sedang diperkenalkan dan siap untuk memajaki Google, Facebook, dan lainnya.
Jika berbicara sekitar lima tahun yang lalu, kita akan mengatakan tidak [perlu memajaki]. Ini karena dari sudut pandang ekonomi, pemajakan yang lebih tinggi bagi perusahaan TI sama artinya menurunkan pendapatan perusahaan untuk berinvestasi dalam inovasi dan penelitian. Inovasi penting untuk memberikan produk yang lebih baik kepada masyarakat.
Faktanya, sekarang stakeholder, yang sekarang adalah masyarakat, mengatakan keinginannya untuk pemajakan itu [atas perusahaan digital]. Keinginan itu didorong oleh fakta bahwa mereka [perusahaan] tidak membayar pajak secara adil (fair share).
Fair share lebih penting dari pada kemungkinan untuk dapat berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan serta memberi produk yang lebih baik. Jadi, ada dua aspek. Pemungutan pajak akan ada dampak terhadap penelitian dan pengembangan perusahaan.
Hal tersebut pada pada gilirannya berdampak pada masyarakat secara keseluruhan karena tidak memberikan solusi produk yang lebih baik. Di sisi lain, yang kedua, kita tahu bawa kita ingin memiliki fair share. Dengan demikian, harus ada keseimbangan yang sangat baik. Anda tahu, ini memang hal yang sulit.
Lantas bagaimana menyeimbangkan kedua aspek itu? Apalagi, dalam konteks Indonesia, ada kebutuhan dari sisi lapangan kerja dan sebagainya.
Saya pikir ini juga menjadi tugas DDTC untuk membuat semacam kajian. Ini karena, jika kita tidak mempunyai kajian dan memiliki data, kita tidak dapat membuat keputusan yang bijaksana. Kita harus mendokumentasikannya dengan baik dan menganalisisnya. Ketika memiliki riset yang baik, kita akan membuat keputusan yang tepat. Pilih preferensi yang baik. Kemudian, pemerintah yang memutuskan.
Apakah artinya Indonesia juga perlu mengambil langkah unilateral daripada hanya menunggu konsensus global?
Indonesia, sejauh yang saya tahu, masih belum menjadi bagian dari anggota OECD dan masih belum menjadi ekonomi terbesar di dunia. Jadi, posisi Indonesia belum mendominasi perubahan dunia Jika Anda tidak berinovasi dan tidak proaktif, Anda hanya akan menjadi pengikut. Padahal, negara-negara lain juga memiliki kepentingannya sendiri.
Apakah Anda biarkan orang datang dan ambil pangsa pasar? Saya pikir itu tidak bijak. Jadi, saya harus merekomendasikan agar Indonesia lebih proaktif dan memiliki respons yang cepat.
Kaitannya dengan transfer pricing, dengan adanya perkembangan digitalisasi ini, apakah arm’s length principle masih relevan? Atau kita butuh konsep lain seperti global formulary apportionment?
Saya pikir yang sulit saat ini bukan tentang menerapkan prinsip. Hari ini dan besok, yang sulit adalah bagaimana saya bisa melindungi ekonomi masing-masing. Jika saya perlu menerapkan sejenis common consolidated corporate tax base atau formulary apportionment, ya saya harus melakukannya. Jika saya harus tetap dengan arm’s length principle, saya harus melakukannya. Tidak ada yang benar dan salah.
Pertanyaannya adalah apa yang harus saya sebagai pemerintah untuk untuk melindungi perusahaan, advisor, dan warga saya. Untuk menjawab pertanyaan ini, sekali lagi, Anda perlu perhitungan yang matang sehingga dapat membuat keputusan yang tepat.