LAPORAN DDTC DARI AMSTERDAM

Membaca Arah Perpajakan Global (Bag.1)

Redaksi DDTCNews
Senin, 27 Juni 2016 | 13.39 WIB
Membaca Arah Perpajakan Global (Bag.1)

DEWASA ini, kebijakan fiskal khususnya pajak semakin mendapat tempat dalam konteks perekonomian global. Walau kian penting, namun masih banyak terdapat banyak pertanyaan mengenai bagaimana wajah kebijakan pajak ke depan. Dinamika perubahan yang cepat juga tidak diimbangi oleh kehadiran diskusi global yang bersifat lintas stakeholders.

Hal inilah yang mendorong Forum on Economic and Fiscal Policy (FEFP) memilih tema bertajuk 'Beyond Tax Policy'. Forum ini sekaligus berupaya mengurai simpul antara pajak dengan pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan, globalisasi, investasi, demokrasi serta isu pembangunan berkelanjutan.

Pertemuan forum ini dilaksanakan di Amsterdam, pada tanggal 12 dan 13 Mei 2016. Deretan pakar pajak menjadi narasumber, semisal: Partharasati Shome (ITRAF, India), Sol Piciotto (ICTD, Inggris), Monica Bhatia (OECD Global Forum Secretariat), Belema Obuoforibo (IBFD, Belanda), dan sebagainya.

Sementara itu, dari Indonesia, diwakili oleh B. Bawono Kristiaji (DDTC), yang baru saja dianugerahi penghargaan pajak bergengsi atas tesis terbaik se-Eropa dari Confederation Fiscale Europeenee. Acara tersebut dihadiri oleh lebih dari 60 peserta dari berbagai negara, tak terkecuali otoritas pajak dari Mauritius dan Malaysia.

Pendistorsi atau Penggerak

SECARA konvensional, pajak dianggap sebagai faktor yang berpotensi menghambat laju aktivitas ekonomi karena sifatnya yang distortif. Pajak dipahami sebagai elemen yang meningkatkan biaya, harga, hingga mengurangi ketersediaan tenaga kerja dan ekspansi usaha dari korporasi.

Akan tetapi, secara kausalitas justru negara-negara yang sanggup menghimpun pajak dengan lebih baik akan memiliki pertumbuhan ekonomi yang stabil dan tinggi. Demikian paparan dari Ruud de Mooij, Deputy Division Chief of Tax Policy Division IMF, dalam paparannya.

Pendapatan dari sektor pajak pada akhirnya dipergunakan untuk membiayai pembangunan yang berarti menyediakan infrastruktur, fasilitas kesehatan dan pendidikan, dan sebagainya. Akibatnya, negara dengan dana yang cukuplah yang dapat memiliki kemampuan meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya. Secara empirik, ā€˜batas amanā€™ dari tax ratio yang memungkinkan adanya lompatan pertumbuhan adalah di angka 15%. Hasil estimasi tersebut diperoleh dari pengolahan data di hampir seluruh negara selama 4 dasawarsa.

Persoalan Mendasar

NAMUN, bagi negara-negara berkembang, mencapai ā€˜batas amanā€™ tersebut tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Selain akibat rendahnya tingkat pendapatan per kapita, maraknya korupsi, maupun lemahnya otoritas pajak; banyak aktivitas penduduk yang sulit untuk dipajaki.

Akhirnya, kreativitas dari masing-masing negara dibutuhkan untuk hal tersebut. ā€œPendekatan ala presumptive tax di mana menggunakan indikator selain penghasilan yang menunjukkan kemampuan untuk membayar pajak sangat dibutuhkanā€. Hal ini seperti diungkapkan oleh Ednaldo Silva (RoyaltyStat, Amerika Serikat).

Lebih lanjut lagi, menurut Farah Karimi (Oxfam, Belanda), di negara berkembang, pajak bukanlah persoalan ekonomi semata. Lebih luas dari itu, pajak menyangkut juga persoalan hak asasi manusia, kemiskinan, ketimpangan, dan sebagainya yang pada akhirnya juga salah satu elemen kunci dari Sustainable Development Goals 2030. (Bersambung ke bagian 2)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.