Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan pemaparan pada konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/4/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc.
JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai bank sentral di negara maju seperti The Federal Reserve (The Fed), European Central Bank, atau United Kingdom Central Bank masih enggan memangkas suku bunga acuannya.
Sri Mulyani mengatakan bank-bank sentral itu masih mempertimbangkan tingginya harga komoditas sebagai efek dari gangguan pada rantai pasok akibat perang di Timur Tengah. Kenaikan harga komoditas tersebut dapat memicu inflasi, penurunan daya beli, serta peningkatan biaya produksi yang bakal memengaruhi stabilitas ekonomi.
"Now they are facing a difficult dilemma. Di satu sisi ekonomi melemah, namun di sisi lain harga akan tertahan tinggi karena faktor disrupsi rantai pasok," ujarnya, dikutip pada Sabtu (21/6/2025).
Sri Mulyani menyebut kondisi itu menimbulkan ketidakpastian ekonomi global sehingga negara akan menyusun kebijakan moneter masing-masing.
Kini, suku bunga acuan cenderung bertahan di level yang cukup tinggi. Padahal, negara-negara berkembang seperti Indonesia berharap bank-bank sentral negara maju mulai menurunkan suku bunganya pada semester II/2025.
Ia mengatakan terdapat 2 faktor yang semestinya menjadi pertimbangan negara maju untuk memangkas suku bunga, yakni perekonomian yang cenderung melemah dan laju inflasi yang terkendali. Namun melihat situasi ekonomi dunia sekarang ini, penurunan suku bunga acuan oleh negara maju diperkirakan sulit terealisasi dalam waktu dekat.
"Suku bunga berada di posisi awkward, mana yang harus dimenangkan is it growth or is it inflation harus dikendalikan. Dalam situasi ekonomi yang melemah, interest rate yang masih cenderung tertahan tinggi, it will not serve well. Inilah yang disebut global environment yang kita hadapi," papar Sri Mulyani.
Ia melanjutkan melonjaknya harga komoditas dan tren suku bunga tinggi dari bank sentral dunia pada waktu yang lama tentunya berdampak ke Indonesia. Sebab, perekonomian nasional cukup bergantung pada harga komoditas.
Dalam situasi tersebut, pemerintah akan berupaya mempertahankan perekonomiannya di tengah ketegangan geopolitik, disrupsi rantai pasok, dan fluktuasi harga komoditas.
"Kita akan terus terpengaruh oleh lingkungan global yang penuh ketidakpastian, yang sifatnya bukan jangka pendek. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, kita harus siap menghadapi kondisi ini. Ketidakpastian adalah sesuatu yang tidak disukai oleh pelaku ekonomi mana pun," tutup Sri Mulyani. (dik)