Ilustrasi.
DEPOK, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) mengungkapkan Kementerian Keuangan akan menerbitkan 40 hingga 45 peraturan menteri keuangan (PMK) sepanjang 2023.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan seluruh PMK tersebut bakal diterbitkan sebagai tindak lanjut implementasi UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
"Kalau tahun lalu kita punya UU HPP, tahun ini kita akan melakukan implementasinya. Kemarin sudah dikeluarkan 4 peraturan pemerintah (PP) yang nanti akan disusul dengan PMK. Mungkin ada sekitar 40 sampai 45 PMK," ujar Neilmaldrin dalam Sapta Reka Cipta Tax Center Gunadarma, Selasa (24/1/2023).
Adapun 4 PP yang telah terbit antara lain PP 44/2022 yang mengatur tentang pemungutan PPN dan PP 49/2022 yang secara khusus memerinci fasilitas PPN atas BKP/JKP tertentu.
Selanjutnya, terdapat pula PP 50/2022 yang mengatur secara lebih rinci tentang ketentuan dalam UU KUP s.t.d.t.d. UU HPP serta PP 55/2022 yang memuat penyesuaian pengaturan PPh setelah diterbitkannya UU HPP.
Neilmaldrin mengatakan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam UU HPP dan aturan-aturan teknisnya telah mencerminkan asas keadilan dan berpihak pada wajib pajak.
Keadilan dan keberpihakan tersebut antara lain, pertama, terdapat ketentuan mengenai penggunaan NIK sebagai NPWP orang pribadi penduduk. NIK bakal digunakan secara penuh untuk pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban perpajakan mulai 1 Januari 2024. Oleh karena itu, wajib pajak perlu segera melakukan aktivasi NIK sebagai NPWP.
Kedua, UU HPP juga mengatur ulang tarif dan lapisan penghasilan kena pajak PPh orang pribadi. Penghasilan kena pajak senilai Rp0 hingga Rp60 juta dikenai pajak dengan tarif sebesar 5%. Dahulu, tarif PPh sebesar 5% hanya berlaku atas penghasilan kena pajak senilai Rp0 hingga Rp50 juta.
"Ini berpihak kepada masyarakat menengah ke bawah karena ada perluasan bracket yang tadinya hanya sampai Rp50 juta, saat ini di ketentuan baru dilebarkan menjadi sampai Rp60 juta yang kena tarif 5%," kata Neilmaldrin.
Ketiga, UU HPP juga memuat fasilitas omzet tidak kena pajak senilai Rp500 juta khusus bagi wajib pajak orang pribadi UMKM. Dengan demikian, hanya bagian omzet di atas Rp500 juta yang dikenai PPh final UMKM sebesar 0,5%.
Keempat, UU HPP menghapuskan pengecualian PPN sembari tetap memberikan fasilitas pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, dan jasa-jasa lainnya.
Kelima, PMSE yang menjual produk digital dari luar ke dalam negeri diwajibkan untuk memungut PPN. Ketentuan ini diperlukan untuk menciptakan level playing field antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha ekonomi digital.
Terakhir, terdapat pula ketentuan mengenai asistensi penagihan pajak global serta pasal khusus yang mengakomodasi implementasi konsensus pemajakan global. (sap)