LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Strategi Jitu Menjaga Penerimaan Pajak di Tahun Politik

Redaksi DDTCNews | Jumat, 11 Januari 2019 | 11:48 WIB
Strategi Jitu Menjaga Penerimaan Pajak di Tahun Politik
Rickan Wijaya, S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.

TAHUN politik identik dengan ‘tahun panas’ yang menjadi puncak pesta demokrasi dalam pemilihan legislatif dan eksekutif. Tahun politik juga akan memicu pergerakan kegiatan ekonomi yang lebih ganas dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di sisi lain, gejolak ekonomi eksternal, seperti harga komoditas dan revolusi industri 4.0, akan menjadi potensi ketidakpastian yang harus ditanggulangi oleh pemerintah dalam menjaga aliran ‘darah negara’ yaitu pajak.

Berkaca dari kinerja pada 2016—2018, realisasi penerimaan pajak selalu lebih dari 85% dari target yang ditetapkan. Kebijakan pemerintah cukup baik dalam menjaga konsistensi penerimaan pajak. Pada 2019, pemerintah dengan yakin menetapkan target penerimaan pajak yang cukup menantang, yaitu Rp1.577,6 triliun. Lantas, apa yang dapat dilakukan pemerintah, khususnya Ditjen Pajak (DJP), untuk merealisasikan target penerimaan pajak tersebut, di tengah tekanan tahun politik dan gejolak eksternal?

Pertama, DJP harus mulai menggiatkan sosialisasi pemungutan pajak melalui sistem informasi yang terintegrasi secara nasional dan dapat dikenal luas oleh masyarakat. Hal ini dapat dilakukan seperti sistem pemungutan pajak di DKI Jakarta, yaitu e-Pos. Sistem integrasi nasional ini akan mendorong kemudahan aksesibilitas pembayaran pajak dan keselarasan informasi. Dengan demikian, kepatuhan pajak dapat meningkat.

DJP juga wajib untuk mensosialisasi penggunaan e-filling atau sistem online lainnya agar memudahkan wajib pajak perorangan. Sistem integrasi ini juga dapat meningkatkan pengawasan bagi wajib pajak badan usaha. Ini dikarenakan DJP memiliki kesempatan untuk mengawasi badan usaha yang terkena denda atau belum membayar pajak.

Kedua, tahun politik identik dengan pemilihan pemimpin. Pemimpin akan mempengaruhi pasar dan peta penerimaan pajak di tahun politik. Dalam kondisi ini, DJP harus tetap menjamin adanya konsistensi transparansi penggunaan pajak dan kebijakan keberlanjutan untuk menciptakan kepercayaan publik terhadap DJP. Kebijakan tax amnesty, misalnya, terbukti mendapat antusiasme yang cukup besar dari masyarakat. Kepercayaan publik dan antusiasme masyarakat ini penting bagi DJP karena akan berpotensi meningkatkan kepatuhan pajak sukarela dan penerimaan pajak.

Ketiga, pertumbuhan beberapa sektor di Indonesia cukup baik, terutama pada sektor nonmigas. Oleh karena itu, DJP harus menjaga konsistensi penerimaan PPN, PPnBM, dan PPh nonmigas yang menyumbang paling besar dalam penerimaan pajak dalam negeri.

DJP dapat melakukan integrasi informasi dengan pihak-pihak terkait, seperti Ditjen Bea dan Cukai. Integrasi dijalankan dengan mengoptimalkan penggunaan sistem pemungutan pajak online, seperti e-Pos bagi wajib pajak restoran dan hiburan di Jakarta, yang kemudian diterapkan secara nasional. DJP juga dapat meningkatkan pajak cukai untuk barang-barang nonkonsumtif, seperti rokok atau alkohol untuk menjaga penerimaan pajak di tahun politik.

Keempat, gejolak ekonomi dunia dan perang dagang mungkin akan belum usai. Akibatnya, volatilitas mata uang rupiah belum dapat diprediksi. Hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan penertiban dan penguatan pada penerimaan pajak internasional. Pemerintah harus menerapkan kebijakan konkret untuk memerangi base erosion and profit shifting (BEPS).

Pemerintah dapat melakukan kerjasama antar negara untuk mitigasi penghindaran pajak berganda dan mengimplementasikan automatic exchange of information (AEoI). Pemerintah juga dapat meningkatkan pajak impor pada barang-barang konsumtif via e-commerce luar negeri dari 7,5% menjadi 8-9%.

Kelima, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menyumbang cukup besar bagi produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Dengan demikian, insentif pajak dapat diberlakukan untuk mendorong pertumbuhan UMKM. DJP juga dapat menerapkan kebijakan baru loss carry forward, yaitu menangguhkan pembayaran pajak 2-5 tahun yang akan datang setelah UMKM mengalami kerugian. Kebijakan ini diterapkan di Amerika Serikat. Hal ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan sektor produktif di Indonesia.

Bagaimanapun, tahun politik memang menjadi tahun yang memiliki banyak polemik bagi pemerintah. Selain harus menjaga pesta demokrasi berjalan dengan baik, pemerintah harus fokus dalam menjaga ‘darah negara’ agar mampu memenuhi program yang telah dibuat.

Kondisi eksternal yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah dalam menyajikan strategi untuk pengamanan penerimaan pajak. Simbiosis mutualisme antara pemerintah dan masyarakat harus berjalan dengan baik agar kebijakan yang diambil pemerintah dapat dirasakan oleh masyarakat dengan baik.*

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 16 Desember 2022 | 09:45 WIB HUT KE-15 DDTC

Cerita Staf BUMN, Juara II Lomba Menulis Artikel Pajak DDTCNews 2022

Selasa, 06 Desember 2022 | 15:00 WIB HUT KE-15 DDTC

Cerita Pemeriksa, Juara I Lomba Menulis Artikel Pajak DDTCNews 2022

Kamis, 01 Desember 2022 | 09:31 WIB HUT KE-15 DDTC

Daftar Pemenang Lomba Menulis Artikel Pajak 2022 Berhadiah Rp55 Juta

BERITA PILIHAN