Foto bersama dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20. (Instagram Sri Mulyani)
JAKARTA, DDTCNews – Dua pilar pendekatan dalam pemajakan ekonomi digital diyakini dapat berdampak positif bagi kepentingan pajak Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan dalam pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara anggota G20 di Jepang, ada kesepakatan dua pilar pendekatan dalam pemajakan ekonomi digital. Kedua pilar ini merupakan sodoran OECD sebelumnya.
“Kedua pilar ini dapat melindungi kepentingan pajak Indonesia dari potensi kehilangan pajak. Kita perlu makin meningkatkan kemampuan Direktorat Jendral pajak untuk menggunakan kerjasama global dalam mengumpulkan penerimaan pajak yang optimal untuk kepentingan pembangunan Indonesia,” jelasnya melalui akun Instagram, Minggu (9/6/2019).
Adapun pilar pertama yang disepakati menyangkut penetapan new profit allocation right. Dalam pilar ini, sambungnya, hak memajaki tidak ditentukan kehadiran fisik tapi berdasarkan economic relevance/ economic presence. Hal ini, lanjut Sri Mulyani, dikenal sebagai new nexus.
Pilar kedua yang disepakati adalah penerapan minimum effective taxation. Hal ini untuk menghadapi kecenderungan perusahaan menghindari pajak dengan menggunakan negara/yurisdiksi yang memiliki tingkat pajak sangat rendah atau bahkan tidak ada pajak sama sekali.
“Digital ekonomi mengubah model bisnis yang menghilangkan kehadiran fisik suatu perusahaan. Ini menyulitkan perhitungan kewajiban pajak. Diperlukan sistem perpajakan baru yang inklusif dan adil,” jelas Sri Mulyani.
Pembahasan mengenai kedua pilar tersebut juga bisa Anda simak dalam Indonesia Taxation QuarterlyReport (Q1-2019) bertajuk ‘Tax and Digital Economy: Threats and Opportunities’ yang dirilis oleh DDTC Fiscal Research.
Pertemuan G20 ditutup dengan komunike yang berisi komitmen untuk saling bekerja sama menjaga ekonomi global, meskipun dibayangi suasana persaingan antarnegara besar. (kaw)