Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) akan memberi penegasan tentang biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M) terkait dengan pemberian natura dan/atau kenikmatan. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (20/7/2023).
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan semua pertanyaan wajib pajak tentang pemberian natura dan/atau kenikmatan yang memenuhi definisi biaya 3M – sehingga dapat dibiayakan – sedang dikumpulkan. DJP akan memberi penegasan dalam surat edaran dirjen pajak.
“Terus terang kami inventarisasi terus. Dalam konteks undang-undang, yang boleh dibiayakan itu yang 3M. Bapak dan Ibu coba kasih masukan ke kami, kami akan clustering dan lakukan penegasan lewat surat edaran," katanya dalam sebuah sosialisasi PMK 66/2023.
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) PMK 66/2023, biaya penggantian/imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan dan jasa dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menentukan penghasilan kena pajak oleh pemberi kerja atau pemberi imbalan sepanjang merupakan biaya 3M.
Dengan demikian, bila pemberian natura dan/atau kenikmatan ternyata tidak memenuhi definisi biaya 3M, natura dan/atau kenikmatan tersebut tidak dapat dibiayakan oleh pemberi meskipun merupakan objek PPh bagi penerima.
Selain mengenai perlakuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan, ada pula ulasan tentang PMK baru menyangkut bea keluar produk pengolahan mineral logam. Kemudian, ada ulasan mengenai dengan pemeriksaan pajak.
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan penegasan mengenai ketentuan pembebanan biaya natura dan/atau kenikmatan bagi pihak pemberi diperlukan untuk menciptakan sistem pajak yang lebih berkepastian.
“Kami akan buat list dalam bentuk surat edaran atau lainnya. Kami akan formulasikan supaya lebih clear ke depannya," ujar Hestu. (DDTCNews)
Dalam Sosialisasi PMK-66 Tahun 2023 dan Update Reformasi Perpajakan, salah satu peserta bertanya mengenai boleh atau tidaknya melakukan koreksi fiskal atas nilai PPh Pasal 21 karyawan. Dengan demikian, nilai yang ditanggung perusahaan bukan merupakan objek pajak bagi karyawan.
Merespons pertanyaan itu, Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan perusahaan harus tetap menggunakan rezim baru sesuai dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), PP 55/2022, dan PMK 66/2023.
“Undang-undang memperbolehkan untuk dibiayakan. Kalau enggak mau ya sudah [dikoreksi fiskal], tapi perusahaan tetap wajib … harus memotong PPh karyawannya. Kalau itu enggak boleh ditawar,” ujar Hestu. Simak pula ‘PPh Karyawan Bisa Naik Imbas Natura, Perusahaan Diminta Beri Tunjangan’. (DDTCNews)
PMK 66/2023 mengatur penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sehubungan dengan jasa endorsement oleh influencer di media sosial kini menjadi objek pajak penghasilan.
Penyuluh Pajak Ahli Muda DJP Bima Pradana mengatakan natura yang diterima selebgram atau influencer ketika melakukan jasa endorsement termasuk penggantian atau imbalan karena adanya transaksi jasa antarwajib pajak.
"Kalau bicara selebgram, ini dia penerima [natura]. Yang bikin bukti [potong], seharusnya pemberinya. Kami akan mengeceknya dua-duanya. Toh bagi keduanya, baik pemberi atau penerima, kan self assessment," katanya. Simak ‘Endorsement Kena Pajak Natura, DJP Siap Awasi Kepatuhan Selebgram’. (DDTCNews)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merevisi ketentuan penetapan tarif bea keluar atas ekspor produk hasil mineral logam. Revisi ketentuan tersebut dimuat dalam PMK 71/2023 yang menjadi perubahan ketiga dari PMK 39/2022.
“Untuk mendorong penyelesaian pembangunan fasilitas pemurnian mineral logam di dalam negeri serta mendukung kebijakan hilirisasi industri mineral logam berupa komoditas tembaga, besi, timbal, dan seng,” bunyi penggalan pertimbangan dalam PMK 71/2023. Simak ‘PMK Baru, Sri Mulyani Ubah Bea Keluar Produk Pengolahan Mineral Logam’. (DDTCNews)
Direktur Transformasi Proses Bisnis DJP Imam Arifin mengatakan proses bisnis yang dijalankan DJP ke depan menggunakan pendekatan kepatuhan berbasis risiko (risk-based compliance approach).
Hal tersebut sejalan pula dengan upaya DJP untuk menjadi data driven organization. Dengan berbasis pada data, pegawai pajak juga tidak bisa serta merta melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak. Pasalnya, DJP sudah membuat koridor wajib pajak yang dilakukan pemeriksaan tiap tahunnya.
“Tidak serta merta setiap orang diperiksa. Pak dirjen pajak sekarang sudah membuat koridor siapa wajib pajak yang bisa diperiksa tahun ini. Hanya data wajib pajak yang mungkin perlu diklarifikasi. Data driven organization menjadi based salah satu milestone kita ke depan,” jelasnya. (DDTCNews)
Negara-negara maju dan berkembang diklaim telah memperoleh tambahan penerimaan senilai €95 miliar atau sekitar Rp1.600 triliun terhitung sejak 2014 hingga 2022 berkat pemanfaatan data dari automatic exchange of information (AEOI).
Menurut perhitungan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tambahan penerimaan pajak €58,8 miliar diperoleh negara-negara maju dan tambahan penerimaan senilai €36,1 miliar dinikmati oleh negara-negara berkembang.
"Nilai penerimaan pajak ini merupakan perkiraan konservatif mengingat tidak semua yurisdiksi memantau tambahan penerimaan yang berasal dari pemanfaatan data AEOI," tulis OECD dalam laporannya. (DDTCNews) (kaw)