INSENTIF pajak kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang/R&D) saat ini menjadi topik yang hangat dibicarakan. Setelah diskusi yang melibatkan Kemenko Perekonomian dan Kementerian Perindustrian sejak 2018, insentif pajak atau supertax deduction untuk vokasi dan R&D akhirnya terbit pada 25 Juni 2019.
Insentif tersebut diberikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (PP 45/2019).
Sejalan dengan perkembangan revolusi industri 4.0, keberadaan insentif tersebut diharapkan dapat menstimulasi investasi, khususnya di sektor industri padat karya, mendukung program penciptaan lapangan pekerjaan dan penyerapan tenaga kerja, sekaligus meningkatkan daya saing.
Insentif pajak ini pada dasarnya telah lebih dahulu diterapkan banyak negara dengan mengadopsi berbagai skema kebijakan. Meski diharapkan dapat mendorong investasi, insentif ini nyatanya tidak lepas dari perdebatan, terutama karena isu harmful tax competition dan perencanaan pajak agresif.
Salah satu pro kontra yang mengemuka adalah berkaitan dengan kebijakan pemberian insentif atas kegiatan riset dan pengembangan (researh and development/R&D) dalam skema patent box atau intellectual property (IP) box yang cukup populer diadopsi banyak negara, khususnya Uni Eropa.
Konsep Patent Box
PADA hakikatnya, pemberian insentif pajak atas kegiatan R&D dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu input dan output (Theophilou, 2019). Istilah ini mengacu pada keterkaitan antara insentif pajak yang diberikan dan jenis aktivitas R&D yang dimaksud.
Konteks input merujuk pada pemberian insentif pajak dengan didasarkan nilai biaya atau modal yang dikeluarkan wajib pajak atas kegiatan R&D. Konsep input inilah yang diadopsi PP 45/2019. Berbeda dengan input, terminologi output mengacu pada aspek penghasilan yang dihasilkan aktivitas R&D.
Patent box merupakan salah satu bentuk insentif output. Secara harfiah, rezim patent box mengacu pada pemberian insentif pajak, umumnya dalam bentuk pengenaan tarif pajak penghasilan (PPh) yang sangat rendah atas penghasilan eksploitasi IP yang dihasilkan dari kegiatan R&D (Zammit, 2015).
Salah satu bentuk penghasilan eksploitasi IP yang kerap menjadi objek insentif patent box adalah penghasilan dari royalti. Dalam praktiknya, patent box diterapkan secara berbeda oleh masing-masing yurisdiksi, baik dari skema maupun jenis objek IP yang termasuk lingkup insentif ini (Fairpo, 2012).
Sebagai contoh, Belanda mengatur jenis IP yang termasuk ke dalam fasilitas ini terbatas pada paten. Di sisi lain, Siprus dan Luksemburg memperluas pemberian insentif pada aktivitas harta tidak berwujud sehubungan dengan fungsi pemasaran (marketing intangibles).
Belanda mengenakan tarif PPh atas royalti 5% atau lebih rendah 20% dari tarif PPh badan 25%. Di United Kingdom, kebijakan patent box berupa keringanan PPh badan 10% diterapkan atas penghasilan yang diperoleh dari paten, baik royalti maupun penghasilan atas produk/jasa yang memakai paten.
Pada dasarnya, ada beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi beberapa negara beberapa tahun terakhir menerapkan insentif patent box (Zammit, 2015). Pertama, patent box cenderung berisiko lebih rendah karena pengenaannya fokus hanya pada IP yang berhasil dikembangkan.
Kedua, insentif ini dianggap mampu secara efektif meningkatkan daya tarik investasi luar negeri dan karenanya dapat menumbuhkan lapangan pekerjaan, khususnya berkaitan dengan sektor yang sarat akan penggunaan IP knowledge.
Ketiga, insentif ini diberikan dengan harapan mencegah pengalihan potensi penghasilan kena pajak atas eksploitasi IP ke negara lain dan sebaliknya dapat meningkatkan ‘daya tarik’ bagi perusahaan multinasional lain untuk memindahkan penghasilan atas eksploitasi IP tersebut ke negaranya.
Dalam perkembangannya, patent box ini juga menuai perdebatan. Di Uni Eropa misalnya, berbagai skema patent box yang secara berlomba-lomba ditawarkan masing-masing yurisdiksi dikhawatirkan dapat menimbulkan kompetisi pajak yang berbahaya/harmful tax competition (Zammit, 2015).
Kritik lainnya adalah insentif ini dianggap hanya fokus pada hasil kegiatan R&D, bukan penciptaan kegiatan R&D baru. Kritik juga bertambah terkait dengan isu perencanaan pajak agresif yang dilakukan perusahaan multinasional dengan memanfaatkan patent box untuk meminimalkan beban pajak.
Perencanaan Pajak Agresif
UPAYA perencanaan pajak agresif dan harmful tax competition yang timbul seiring dengan kebijakan patent box telah banyak diperbincangkan. Terkait dengan perencanaan pajak agresif, kebijakan yang diterapkan beberapa yurisdiksi umumnya mengabaikan aspek keberadaan substansi kegiatan R&D.
Banyak yurisdiksi menerapkan patent box hanya berdasarkan keberadaan kepemilikan IP atau paten. Hal ini menjadi celah perusahaan multinasional untuk memaksimalkan biaya pengurang pajak dengan meletakkan IP di negara dengan patent box dan kegiatan R&D di yurisdiksi bertarif pajak tinggi.
Adapun sehubungan dengan isu harmful tax competition, EU Code of Conduct mengaitkan istilah harmful terhadap adanya kebijakan pajak yang dapat memengaruhi keputusan penempatan lokasi bisnis secara materiel (Herrington dan Lowell, 2019).
Dilatarbelakangi oleh hal tersebut, kebijakan patent box merupakan salah satu yang menjadi agenda diskusi dalam Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Melalui Rencana Aksi 5 BEPS, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkenalkan konsep nexus approach.
Pendekatan ini mensyaratkan untuk dapat menerapkan insentif patent box, harus terdapat nexus dan substansi ekonomi di yurisdiksi tersebut, termasuk kegiatan R&D. Untuk menentukan terpenuhinya persyaratan ini, identifikasi biaya R&D akan menjadi salah satu faktor utama yang diperhitungkan.
Berikut gambaran pendekatan perhitungan nexus ratio yang digunakan untuk menghitung besarnya penghasilan IP atau paten yang mendapat manfaat atau insentif pajak (income receiving tax benefit): Nexus ratio = [(qualifying expenditure + uplift expenditure) ÷ total expenditure] x overall IP income.
Melalui formula tersebut, nilai penghasilan eksploitasi IP yang mendapatkan insentif hanya sebesar proporsi total biaya R&D atas pengembangan IP. Total biaya R&D dalam kasus ini direpresentasikan dengan nilai qualifying expenditure dan uplift expenditure. Selain formula di atas, BEPS Rencana Aksi 5 juga membatasi jenis IP yang berhak mendapat insentif ini, yaitu hanya IP assets dan patent.
Pendekatan ini digagas untuk memastikan terdapat nexus atau hubungan antara penghasilan atas eksploitasi IP yang dibukukan perusahaan multinasional di suatu yurisdiksi dan aktivitas R&D untuk menciptakan IP tersebut. Selain itu, melalui pendekatan ini, konsep input dan output insentif ini menjadi kurang relevan karena nexus mengaitkan aktivitas input dengan IP yang dihasilkan (output).
Dengan demikian, diharapkan insentif yang diberikan dapat menyelesaikan isu harmful tax competition, memastikan adanya substansi atas kepemilikan IP, dan secara efektif menstimulasi pengembangan IP baru, atau dengan kata lain, mendorong inovasi.
Uni Eropa sendiri telah berkomitmen dan mendorong negara anggotanya untuk dapat menerapkan nexus approach ini. Beberapa negara yang telah merevisi peraturan patent box di negaranya dengan mengadopsi rekomendasi dalam BEPS Rencana Aksi 5 di antaranya Siprus dan Luksemburg.
Kedua negara tersebut telah mengecualikan marketing intangibles dari ruang lingkup insentif patent box. Dalam perkembangannya, saat ini telah lebih dari 120 yurisdiksi yang melakukan amendemen atas ketentuan IP regime sesuai dengan rekomendasi nexus approach (OECD, 2019).
Pada dasarnya efektivitas insentif pajak atas kegiatan R&D sangat bergantung pada desain kebijakan insentif itu sendiri. Faktor yang dapat dipertimbangkan dalam merumuskan desain itu di antaranya bentuk dan target insentif, lingkup aktivitas R&D, volume dan kenaikan R&D, regulasi penghindaran, dan administrasi (OECD, 2017).
Terlepas dari hal itu, harus diingat ada banyak faktor selain aspek pajak yang menjadi pertimbangan bagi investor dalam berinvestasi. World Bank dalam laporannya menyatakan banyak keputusan investasi yang diambil meski tanpa keberadaan insentif pajak (Cotrut dan Munyandi, 2018).
Oleh karena itu, perumusan kebijakan insentif pajak atas kegiatan R&D, seperti atas patent box ini, harus berfokus pada efektivitas pencapaian tujuan insentif ini dan tentunya menghindari munculnya isu negatif lain, seperti harmful tax competition maupun perencanaan pajak agresif.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.