Kepala Subdirektorat Hubungan Masyarakat Perpajakan DJP Inge Diana Rismawanti (kanan) dan Penyuluh Ahli Madya DJP Dian Anggraeni (kiri).
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) menyatakan pegawai tetap yang menerima bonus juga bakal dikenakan PPh Pasal 21 dengan tarif efektif bulanan yang lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.
Kepala Subdirektorat Hubungan Masyarakat Perpajakan DJP Inge Diana Rismawanti mengatakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah penghasilan yang diterima pegawai tetap, baik yang bersifat teratur ataupun yang tidak teratur. Penghasilan tersebut juga termasuk tunjangan hari raya (THR) dan bonus.
"Jangan lupa ini bukan hanya THR. Nanti pada saat menerima bonus akan terjadi hal yang sama," katanya dalam Podcast Cermati, Rabu (24/4/2024).
Inge mengatakan PPh Pasal 21 yang dipotong berdasarkan tarif efektif rata-rata (TER) pada saat bulan diterimanya THR atau bonus memang akan lebih tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Hal ini terjadi karena penghasilan yang diterima pegawai menjadi lebih besar, yakni mencakup gaji dan THR atau bonus.
Misalnya seorang pegawai tetap yang berstatus tidak kawin tanpa tanggungan (TK/0) menerima penghasilan bruto bulanan senilai Rp10 juta. Atas penghasilan tersebut, berlaku tarif efektif bulanan 2% sehingga PPh Pasal 21 yang terutang setiap bulan senilai Rp200.000.
Sementara pada bulan diterimanya THR atau bonus, penghasilan bruto bulanan pegawai ini akan naik dari Rp10 juta menjadi Rp20 juta. Dengan penghasilan tersebut, tarif efektif bulanan yang berlaku atas penghasilan bruto senilai Rp20 juta adalah 9% sehingga PPh Pasal 21 terutang menjadi Rp1,8 juta.
Dia menjelaskan penerapan TER bertujuan mempermudah penghitungan PPh Pasal 21 oleh pemotong. Melalui skema ini, pemberi kerja cukup menjumlahkan gaji dan THR atau bonus, serta mengalikannya dengan tarif efektif bulanan yang tertera dalam tabel.
Di sisi lain, pegawai juga dapat dengan mudah ikut menghitung PPh Pasal 21 yang dipotong atas penghasilannya oleh pemberi kerja.
Sementara itu, Penyuluh Ahli Madya DJP Dian Anggraeni menyebut penghasilan yang bersifat tidak teratur seperti THR atau bonus memang akan menyebabkan tarif yang dipergunakan untuk memotong PPh Pasal 21 lebih besar. Hal itu disebabkan penghasilan yang diterima pegawai dalam suatu masa pajak seolah-olah menjadi lebih besar.
"Pokoknya kalau ada penghasilan yang tidak teratur, akan begitu [penghitungannya]. Seolah-olah di bulan itu gajinya menjadi Rp20 juta," ujarnya.
Meski demikian, mekanisme TER tidak akan menambah beban pajak dalam 1 tahun. Alasannya, pemberi kerja akan tetap menghitung kembali jumlah pajak yang terutang dalam setahun menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh pada masa pajak Desember.