RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai pengkreditan pajak masukan oleh wajib pajak yang dianggap belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
Sebagai informasi, pada mulanya, wajib pajak telah dikukuhkan sebagai PKP di Kantor Pelayanan Pajak X. Beberapa waktu kemudian dibentuklah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Y. Adapun wilayah kerja KPP Y mencakup lokasi usaha wajib pajak. Oleh karena itu, dilakukan pemindahan secara jabatan alamat kantor pelayanan pajak terdaftarnya wajib pajak.
Implikasinya, wajib pajak menerima NPWP baru dari KPP Y, tetapi masih belum terdaftar sebagai PKP. Wajib pajak diketahui baru mengukuhkan kembali usahanya sebagai PKP pada 2 Juli 2009. Selama tidak terdaftar sebagai PKP, wajib pajak telah menjalankan hak dan kewajiban PPN, termasuk mengkreditkan pajak masukan.
Menurut otoritas, wajib pajak tidak berhak melakukan pengkreditan pajak masukan untuk masa pajak Mei 2008. Alasannya, pada masa pajak tersebut wajib pajak belum mengukuhkan kembali usahanya sebagai PKP. Sebagai non-PKP, wajib pajak tidak dapat mengkreditan pajak masukan.
Sebaliknya, wajib pajak tidak setuju dengan pernyataan otoritas pajak. Wajib pajak menyatakan koreksi positif pajak masukan tidak memiliki dasar hukum. Sebab, otoritas pajak tidak pernah mengirimkan surat pengukuhan PKP secara jabatan sejak 2006. Penerbitan SKPKB PPN harus didukung dengan adanya surat pengukuhan sebagai PKP tersebut. Oleh karena itu, penerbitan SKPKB PPN dinilai cacat hukum sehingga harus dibatalkan.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan wajib pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai koreksi positif atas pengkreditan pajak masukan yang ditetapkan otoritas pajak tidak mengandung kesalahan. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat wajib pajak tidak dapat mengkreditkan pajak masukan.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Berikutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 45644/PP/M.VI/16/2013 tanggal 18 Juni 2013, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis kepada Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 10 September 2013.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif pajak masukan senilai Rp221.288.248 masa pajak Mei 2008 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
PEMOHON PK selaku wajib pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK telah mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai PKP di KPP X pada 2006. Atas pengukuhan sebagai PKP tersebut, Pemohon PK tidak pernah menerima surat pengukuhan PKP.
Kemudian, KPP Y dibuka dan berlokasi lebih dekat dengan tempat usaha Pemohon PK. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Pemohon PK dipindahkan secara jabatan sesuai domisilinya, dari yang awalnya terdaftar di KPP X ke KPP Y. Oleh karena itu, Pemohon PK memperoleh NPWP baru. Pada 2 Juli 2009, Termohon PK menghimbau agar Pemohon PK segera mengajukan pengukuhan sebagai PKP di wilayah kerja KPP Y.
Sementara itu, Termohon PK tetap melakukan pengkreditan pajak masukan meskipun tidak terdaftar sebagai PKP di KPP Y. Atas pengkreditan pajak masukan yang dilakukan tersebut, Termohon PK menetapkan koreksi positif.
Berkaitan dengan perkara ini, Pemohon PK tidak setuju dengan koreksi yang ditetapkan oleh Termohon PK. Pemohon PK memberikan 4 justifikasi yang mendukung alasannya untuk tetap dapat mengkreditkan pajak masukan.
Pertama, tidak adanya surat teguran. Berdasarkan pada Pasal 13 ayat (1) huruf b UU KUP 1983, sebelum Termohon PK menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB), Pemohon PK yang terlambat menyerahkan SPT Masa PPN seharusnya menerima teguran atau imbauan secara tertulis terlebih dahulu.
Kedua, pengukuhan PKP secara jabatan oleh Termohon PK dinilai tidak sah. Berdasarkan pada KMK 571/2003 juncto KEP-161/PJ/2001, Termohon PK hanya dapat menerbitkan SKPKB bila sudah menerbitkan surat pengukuhan PKP. Namun, Pemohon PK tidak pernah menerima surat pengukuhan PKP tersebut. Oleh karena itu, Pemohon PK tidak dapat menjalankan hak dan/atau kewajiban perpajakan secara baik serta benar.
Ketiga, penerbitan SKPKB PPN masa pajak Mei 2008 menjadi tidak sah. Surat pengukuhkan PKP merupakan syarat mutlak diterbitkannya SKPKB PPN. Dengan tidak adanya surat pengukuhan PKP, penerbitan SKPKB PPN menjadi cacat hukum.
Keempat, koreksi positif pajak masukan tidak memiliki dasar hukum. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pengukuhan PKP secara jabatan dianggap tidak sah dan penerbitan SKPKB PPN juga memiliki cacat hukum. Implikasinya ialah koreksi yang ditetapkan oleh Termohon PK harus dibatalkan.
Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Termohon PK tidak mengakui pelaporan SPT Masa PPN yang telah dilakukan oleh Pemohon PK. Alasannya, Pemohon PK belum dikukuhkan sebagai PKP sejak status wajib pajaknya telah dipindahkan ke KPP Y.
Dikarenakan sudah terdaftar sebagai wajib pajak di KPP Y dan belum mengukuhkan dirinya sebagai PKP maka Pemohon PK tidak boleh melakukan mekanisme pengkreditan pajak masukan. Oleh sebab itu, Termohon PK melakukan koreksi positif atas pengkreditan pajak masukan yang dilakukan Pemohon PK.
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding sudah tepat dan benar. Terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, koreksi yang ditetapkan oleh Termohon PK sudah benar. Sebab, dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti yang terungkap di persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Kedua, Mahkamah Agung menyatakan Pemohon PK telah mengajukan pendaftaran untuk memperoleh NPWP, tetapi belum mengukuhkan usahanya sebagai PKP kepada KPP Y. Dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai bahwa permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.