Mobilisasi penerimaan pajak menjadi perhatian utama bagi otoritas fiskal di banyak negara. Hal ini penting agar negara dapat menciptakan ruang fiskal yang cukup sebagai sumber pendanaan investasi publik dan memberikan layanan publik.
Pertanyaan yang kemudian sering muncul adalah ‘apa yang telah dilakukan negara lain untuk meningkatkan penerimaan pajak?’ dan ‘seberapa cepat waktu yang dibutuhkan untuk suatu negara dapat meningkatkan penerimaan pajak?’
Jawaban dari pertanyaan itu tentu dicari oleh para pembuat kebijakan di berbagai negara, tak terkecuali negara-negara berkembang. Namun, literatur yang berkembang belum masif dalam memberikan analisis lintas-negara yang komprehensif mengenai upaya dan keberhasilan mobilisasi penerimaan pajak.
Artikel berjudul Tax Revenue Mobilization Episodes in Developing Countries ini berusaha melengkapi literatur dengan menyediakan analisis empiris mengenai upaya meningkatkan penerimaan pajak pada negara berkembang.
Studi empiris ini mengamati 55 peristiwa mobilisasi penerimaan pajak selama periode 2000-2015. Hasilnya, reformasi kebijakan dan administrasi pajak terbukti memainkan peran yang signifikan dalam meningkatkan rasio pajak terhadap PDB.
Terlepas dari tantangan yang dihadapi masing-masing negara dalam meningkatkan kinerja pajak, hasil analisis menunjukan peningkatan penerimaan secara signifikan bukan sesuatu yang mustahil untuk dicapai.
Dalam beberapa kasus, peningkatan penerimaan secara signifikan dapat dilakukan dalam periode waktu yang relatif singkat. Setidaknya ada tiga pendorong utama keberhasilan kinerja pajak dari masing-masing negara berkembang.
Pertama, keberlanjutan penerimaan pajak biasanya disertai dengan integrasi komprehensif antara reformasi kebijakan dan administrasi pajak. Artinya, kebijakan perluasan basis pajak berjalan seiring dengan cara memungut pajak tersebut.
Temuan tersebut dikonfirmasi dengan fakta menarik. Periode 2009-2015 atau pascakrisis global, beberapa negara berkembang mengalami peningkatan signifikan dalam kinerja pajak bahkan naik kelas ke kategori yang lebih tinggi.
Peningkatan kinerja pajak ini juga tidak terlepas dari pelaksanaan reformasi pajak secara komprehensif oleh negara bersangkutan pada periode tersebut.
Kedua, kenaikan tarif pajak tidak langsung dan perluasan basis pajak final merupakan instrumen kebijakan pajak yang paling banyak ditemui. Reformasi pajak menunjukkan tren adanya penggabungan pelaksanaan beberapa instrumen pajak (tax-mix).
Dari pengalaman berbagai negara, keberhasilan mobilisasi penerimaan pajak merupakan kombinasi dari beberapa instrumen seperti rasionalisasi pembebasan pajak, perluasan basis pajak PPN dan pajak konsumsi lainnya, peningkatan tarif cukai, serta peningkatan kapasitas tata kelola administrasi pajak.
Sementara itu, pajak properti masih memainkan peran terbatas. Hal ini diperkirakan karena adanya potensi celah hukum yang besar (misalnya: penentuan hak milik properti) serta kapasitas administrasi pajak yang lemah, terutama di tingkat lokal.
Ketiga, reformasi administrasi pajak masif dilakukan di negara berkembang. Beberapa fitur yang populer digunakan meliputi audit risiko, manajemen, tata kelola dan peningkatan kapasitas SDM, serta optimalisasi sistem teknologi informasi.
Makalah yang diterbitkan IMF ini ditujukan untuk skala pembaca yang luas mulai dari praktisi kebijakan, pemerhati fiskal, dan masyarakat sipil. Bacaan ini juga berguna dalam mengidentifikasi berbagai strategi dalam memobilisasi penerimaan pajak bagi pelaksanaan pembangunan.
Namun, studi komparasi ini tidak dapat dijadikan resep generik bagi keberhasilan reformasi pajak. Pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan konteks dan preferensi kelembagaan di masing-masing negara.
Selain itu, adaptasi strategi reformasi juga sangat bergantung pada faktor ekonomi politik sehingga berpotensi menjadi bantu sandungan apabila tidak diantisipasi sebelumnya.