SENGKETA atas penambahan nilai royalti terkait eksploitasi merek dagang terhadap nilai pabean sering terjadi di berbagai negara di dunia, seperti di Thailand, Malaysia, Selandia Baru, Kanada, Kenya, dan termasuk juga di Indonesia.
Di Indonesia, nilai pabean diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari barang impor yang bersangkutan. Selanjutnya, Pasal 5 ayat (3c) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk (‘PMK-160/2010’) mengatur bahwa salah satu jenis biaya atau nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi adalah royalti. Terdapat tiga kriteria royalti yang menjadi komponen nilai pabean, yaitu.
Tiga kriteria di atas sama dengan kriteria yang diatur dalam Pasal 8 World Trade Organization Valuation Agreement. Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing kriteria.
Royalti untuk hak eksploitasi merek dagang dapat dibayar oleh pembeli baik secara langsung kepada eksportir barang impor maupun secara tidak langsung kepada pihak ketiga.
Royalti yang merupakan komponen nilai pabean adalah royalti yang wajib secara hukum dibayarkan oleh pembeli dan apabila royalti tidak dibayarkan maka penjualan barang impor menjadi batal dan tidak dapat dilakukan. Apabila dalam perjanjian penjualan barang impor tidak ada klausul pembatalan penjualan dalam hal tidak dibayarkannya royalti, fakta transaksi dapat diuji untuk menentukan apakah pada kenyataannya penjualan barang impor tidak akan dilakukan apabila royalti tidak dibayarkan.
Pengujian ini akan lebih mudah apabila royalti memang dibayarkan langsung kepada eksportir. Pada umumnya, eksportir memiliki kemampuan untuk membatalkan penjualan barang impor apabila pembeli tidak membayar royalti (Rosenow dan O’Shea, 2010). Akan tetapi, dalam hal pembeli membayarkan royalti kepada pihak ketiga selain eksportir maka pengujian kontrol pihak ketiga atas penjualan barang impor perlu diuji. Pengujian kontrol pemilik merek dagang atas penjualan barang impor digunakan dalam memutuskan sengketa-sengketa royalti dalam penentuan nilai pabean di berbagai negara, seperti Kanada, Malaysia, dan Kenya.
Selanjutnya, Technical Comittee on Customs Valuation dalam Advisory Opinion 4.8 dan Advisory Opinion 4.13menjelaskan bahwa apabila kewajiban pembayaran royalti timbul dari perjanjian yang berbeda dengan perjanjian penjualan barang impor dan masing-masing perjanjian tidak mengatur ketentuan mengenai pembatalan penjualan dalam hal pembeli tidak membayarkan royalti maka royalti tidak ditambahkan ke nilai pabean.
Royalti yang ditambahkan ke dalam nilai pabean hanya sebatas nilai royalti yang memang dibayarkan untuk penggunaan merek dagang pada barang impor. Oleh karena itu, apabila royalti juga dibayarkan untuk penggunaan merek dagang pada hal-hal selain barang impor, nilai royalti yang harus ditambahkan pada nilai pabean hanya sebatas nilai royalti terkait barang impor.
Dalam PMK-160/2010, suatu royalti dianggap berkaitan dengan barang impor apabila pada barang impor yang bersangkutan terdapat hak atas kekayaan intelektual. Namun demikian, fakta terkait apakah pembayaran royalti memang dibayarkan untuk pencantuman merek dagang pada barang impor tersebut seharusnya juga perlu dipertimbangkan.
Alasannya, perusahaan membayar royalti untuk mendapatkan hak eksploitasi merek dagang. Eksploitasi merek dagang ini dilakukan untuk meningkatkan profitabilitas perusahaan (Smith dan Richey, 2013). Oleh karena itu, untuk menentukan apakah royalti berkaitan dengan barang impor, pengaruh pembubuhan merek dagang pada nilai komersial barang impor perlu diperhatikan. Apabila merek dagang tidak menambah nilai komersial barang impor maka royalti seharusnya tidak berkaitan dengan barang impor.