Founder DDTC Darussalam (kanan) dan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo (kiri) dalam RDPU bersama Banggar DPR RI.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah perlu mengejar perbaikan tax ratio. Founder DDTC Darussalam menilai Indonesia membutuhkan tax ratio sebesar 16% hingga 17% agar sanggup mendanai pembangunan berkelanjutan yang diagendakan oleh pemerintah. Pada tahun lalu, tax ratio Indonesia tercatat masih sebesar 10,4%.
Kajian dari Asian Development Bank (ADB) juga mencatat tax effort Indonesia baru sebesar 0,6. Artinya, baru 60% potensi penerimaan pajak yang sudah berhasil dipungut oleh pemerintah.
"Sebenarnya masih ada 40% potensi pajak yang seharusnya kita bisa gali. Ini persoalannya. Bagaimana untuk mengejar potensi 40% tersebut?" ujar Darussalam dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pakar Perpajakan yang digelar oleh Badan Anggaran (Banggar) DPR, Selasa (4/4/2023).
Darussalam mengatakan pada tahun depan penerimaan pajak bakal dihadapkan oleh tantangan penurunan harga komoditas. Tambahan penerimaan dari kenaikan tarif PPN dan program pengungkapan sukarela (PPS) juga tidak akan berulang pada tahun depan.
Menurut Darussalam, pada 2024 mendatang otoritas pajak perlu berfokus pada sektor perekonomian yang masih tergolong undertaxed. Suatu sektor dikategorikan undertaxed atau kurang dipajaki bila kontribusinya terhadap PDB lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi terhadap penerimaan pajak.
Ketiga sektor yang dimaksud antara lain konstruksi, pertambangan, dan pertanian. "Kalau memang Bapak dan Ibu ingin postur APBN pada 2024 bisa memenuhi ekspektasi, mungkin dilihat sektor-sektor yang kontribusi PDB-nya tinggi tapi penerimaan pajaknya rendah," ujar Darussalam.
Darussalam mengatakan sektor konstruksi berkontribusi sebesar 9,8% terhadap PDB. Meski demikian, kontribusinya terhadap penerimaan pajak hanya sebesar 4,1%. Darussalam mengatakan fenomena ini muncul karena pemberlakuan PPh final pada sektor konstruksi.
Adapun kontribusi sektor pertambangan terhadap PDB tercatat mencapai 12,2%. Namun, kontribusinya terhadap penerimaan pajak hanya sebesar 8,3%.
Menurut Darussalam, rendahnya setoran pajak dari sektor pertambangan disebabkan oleh maraknya praktik penghindaran pajak dan banyaknya pertambangan ilegal yang masuk dalam shadow economy.
Selanjutnya, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB tercatat mencapai 12,4%. Namun, kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan pajak hanya sebesar 1,4%.
Menurut Darussalam, pemerintah memang banyak memberikan fasilitas pada sektor pertanian guna meringankan beban rumah tangga tidak mampu. "Kalau digenjot [pajaknya] itu akan gaduh. Ini persoalan tersendiri," ujar Darussalam.
Menurut Darussalam, pemerintah perlu menyusun suatu kebijakan transisi guna meningkatkan setoran pajak dari sektor pertanian secara bertahap.
Apabila ditilik berdasarkan jenis pajaknya, Darussalam menilai kinerja PPN dalam negeri yang berkontribusi sebesar 22,7% terhadap penerimaan pajak perlu dipertahankan. "Kalau kita bisa menjaga konsumsi dalam negeri baik konsumsi primer, sekunder, dan tersier, ini sumbangsihnya terhadap penerimaan pajak akan positif," ujar Darussalam.
Walau demikian, Darussalam berpandangan pemerintah perlu memberikan perhatian khusus terhadap kinerja PPh orang pribadi yang notabene dibayar oleh wajib pajak pelaku usaha. Kontribusi PPh orang pribadi terhadap penerimaan pajak masih sebesar 0,7%.
"Kalau kita bandingkan dengan banyak negara, justru di negara-negara maju itu kontribusi paling besar berasal dari PPh orang pribadi. Sebaliknya, di Indonesia ternyata itu yang paling tidak berkontribusi," ujar Darussalam.
Menurut Darussalam, setoran PPh orang pribadi dapat ditingkatkan lewat optimalisasi kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Ketentuan penggunaan NIK sebagai NPWP pada UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) memberikan ruang bagi otoritas pajak untuk mengambil langkah tersebut.
Darussalam juga berpandangan pemerintah perlu mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor perekonomian digital. Pemberlakuan PPN PMSE tercatat mampu mengumpulkan penerimaan senilai Rp10,11 triliun pada 2020 hingga 2022.
Masalahnya, pemerintah masih belum memberlakukan kebijakan yang sejenis atas marketplace domestik. Kewenangan bagi pemerintah untuk menunjuk penyelenggara marketplace domestik sebagai pemungut atau pemotong pajak telah ditetapkan berdasarkan UU HPP.
"Kalau ini tidak dipungut sedangkan yang dari luar negeri sudah dikenakan, berarti tidak ada level playing field antara pemain dalam negeri dan luar negeri," ujar Darussalam. (sap)