PENETAPAN UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) telah mengubah lanskap perpajakan daerah di Indonesia. Dengan terbitnya undang-undang tersebut, pemda seantero Indonesia perlu segera menyusun perda baru tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebelum 5 Januari 2024.
Bila pemda tak memiliki perda pajak daerah dan retribusi daerah yang sesuai dengan UU HKPD pada tanggal tersebut, pemda terpaksa harus memungut pajak berdasarkan undang-undang HKPD dan bukan perdanya sendiri.
Oleh karena itu, pemda perlu memanfaatkan waktu yang singkat ini untuk memformulasikan raperda pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan UU HKPD.
Kali ini, DDTCNews berkesempatan mewawancarai Kepala Bapenda Surabaya Musdiq Ali Suhudi. Menurut Musdiq, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi (pemprov) perlu memberikan bimbingan kepada pemerintah kota (pemkot) serta harus segera menerbitkan aturan teknis mengenai ketentuan perpajakan dalam UU HKPD. Berikut kutipan selengkapnya:
Bagaimana kinerja penerimaan pajak di Kota Surabaya pada tahun ini? Apakah sudah mampu kembali ke level prapandemi?
Kalau dari 2020 ke 2021 agak naik, tetapi memang belum normal seperti 2019. Pada 2022, ini sudah lebih baik lagi, meskipun cuma ada beberapa jenis pajak yang sudah kembali normal.
Yang mulai normal itu sebenarnya adalah PBB, pajak hotel, pajak restoran. Itu sudah membaik seperti dibandingkan saat pandemi. Hanya untuk hiburan ini, dampaknya masih terasa hingga hari ini. Secara umum kinerja pajak 2022 hingga semester I/2022 itu masih tertatih-tatih.
Baru mulai lebih bagus setelah semester II/2022. Setelah lebaran, itu trennya bagus kecuali hiburan. Pajak hiburan itu banyak yang bergantung pada kondisi global. Seperti bioskop itu masih belum normal. Kondisinya ini sepertinya belum balik secara global.
Pada awal 2022, pada saat isu Omicron merebak, beberapa juga tiarap itu. Namun, alhamdulillah semester II/2022 sudah mulai membaik. Mudah-mudahan akhir 2022 ini kinerjanya bisa mendekati akhir 2019.
Ada beberapa perilaku pajak yang mengalami penyesuaian, seperti di reklame. Akibat pandemi, muncul kegiatan reklame yang berbeda. Saat ini, banyak yang pakai reklame digital di media sosial dan sebagainya. Bagi daerah, ini tidak bisa dikenakan pajak.
Reklame digital itu tidak mengenal lokasi dan memang bukan objek pajak. Ini cukup berpengaruh karena dalam kondisi sekarang yang memakai medsos cukup banyak. Beberapa reklame fisik di lapangan itu memang kosong.
Mengenai restoran, jasa pesan antar online kini makin banyak. Meski pakai jasa pesan antar online itu kena pajak, tetap ada sisi positif dan negatifnya. Positifnya, UMKM yang terlibat makin banyak. Akan tetapi, UMKM ini agak susah ditarik pajak karena mereka omzetnya tidak besar.
Jadi, kondisi pandemi ini pengaruhnya cukup besar. Tak hanya terhadap penerimaan tetapi juga pada perilaku wajib pajak di sektor reklame dan restoran.
Apakah kepatuhan para wajib pajak di Kota Surabaya sudah tinggi?
Sebenarnya, kepatuhan ini cukup bagus meski mereka kesulitan dalam kondisi pandemi ini. Banyak restoran tutup, omzet turun karena pengunjung terbatas, dan lain sebagainya. Jadi mau dikategorikan tidak patuh, ya susah juga karena kondisi mereka sangat terpaksa.
Pada saat itulah ada policy dari kami untuk menunda pembayaran pajak. Restoran yang [biasanya] bulanan, sekarang bisa nyicil. Ada juga yang boleh bayar pajak bila sudah mampu. Itu sudah ada SK-nya dan penundaan pembayaran pajak ini berakhir ketika pandemi berakhir.
Pada awal 2022, kami keluarkan perwali bahwa mereka harus membayar pajak secara normal. Hanya tunggakan saat pandemi itu diberi kelonggaran, bisa diangsur dan sebagainya. Itu kami berikan agar mereka tidak terbebani oleh utang pajak periode sebelumnya pada 2022.
Selain itu, ada penghapusan denda juga pada 2022 agar kepatuhan mereka membaik. Kami juga menggandeng pelaku profesi seperti PPAT/notaris untuk BPHTB dan juga kami menggencarkan pengawasan lagi dan mengingatkan bahwa mereka memiliki kewajiban pajak.
Apakah Pemkot Surabaya turut serta dalam kerja sama pertukaran data dengan DJP?
Sebenarnya sudah ada kerja sama dengan DJP. Sudah ditandatanganinya nota kesepahaman pada 30 Maret 2021. Hanya mungkin implementasi detailnya masih belum. Realisasi data-data detailnya memang belum ditindaklanjuti kelihatannya.
Kalau di lapangan, dengan KPP itu sudah. Namun, secara formal dalam bentuk link data itu memang belum. Kalau permintaan data secara bersurat itu sudah dilakukan ke KPP yang ada di Surabaya.
Apakah kerja sama data ini menguntungkan Bapenda Surabaya?
Sebenarnya kerja sama ini sudah diteken antara Pak Wali dengan DJP. Cuma nanti perlu diturunkan dalam implementasi teknis, apa saja yang data-data yang bisa dipertukarkan? Saya kira ini akan menjadi keuntungan bagi kedua belah pihak karena bisa saling kroscek potensi pajaknya.
Mungkin dia bayar PPh besar, tapi kok bayar pajak daerahnya tidak besar. Atau sebaliknya, bayar pajak daerah besar, tapi PPh-nya tidak besar. Ya namanya wajib pajak kan kadang-kadang kan 'aku tak mbayar iki, sing iki enggak'.
Ada juga wajib pajak yang waktu pandemi tutup, tetapi sekarang buka lagi. Nah, ini bisa di-kroscek dengan data itu. Memang kadang-kadang ketika mereka buka lagi itu tidak langsung lapor. Jadi, kami yang harus aktif di lapangan.
Sebenarnya untuk beberapa wajib pajak kami sudah memasang alat untuk merekam transaksi, tetapi memang belum semua. Dari total wajib pajak potensial mungkin, masih 50-60%. Nah, ini kami kejar agar semua transaksi bisa kita potret.
Untuk data wajib pajak pusat, kami memerlukan data wajib pajak baru dan tren PPh mereka, naik atau turun. Ini akan kami bandingkan dengan tren pembayaran pajak daerah. Ini diperlukan terutama untuk UMKM yang sudah mulai membesar.
Mereka ini kan selama ini dapat dispensasi, tetapi saat sudah besar mereka lupa kalau ada kewajiban pajak karena dulu dapat kompensasi.
Seperti apa kesiapan pemkot menyusun perda pajak dan retribusi daerah berdasarkan UU HKPD?
Ya ini masih dalam proses pembahasan karena ini banyak sekali. Kami sedang koordinasikan dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) penghasil retribusi, bahannya kami minta. Naskah akademis juga sedang kami siapkan, mudah-mudahan di Desember 2022 sudah selesai sehingga Januari 2023 sudah bisa mulai pembahasan batang tubuhnya.
Sementara ini, kami membahas naskah akademis dan penyusunan matriks. Kami di Surabaya ada 16 OPD penghasil retribusi dan masing-masing memang punya perda retribusi sendiri-sendiri. Ini kami kumpulkan untuk dijadikan satu.
Menurut saya, waktu setahun ini memang cukup pendek. Satu perda aja bisa 6 bulan hingga 8 bulan. Ini gabungan beberapa perda jadi lumayan ini. Kami harus lari cepat. Hingga saat ini, kami juga sedang menunggu peraturan pemerintahnya. Semoga bisa segera terbit.
Seperti apa persiapan Bapenda dalam mendukung pemungutan opsen PKB dan BBNKB?
Itu sangat menguntungkan Pemkot Surabaya karena bagaimana pun dampak dari pemakaian kendaraan bermotor itu di daerah juga. Potensi di Surabaya itu sangat besar. Opsen itu kami tunggu sebenarnya, tetapi kita masih kebingungan teknis pelaksanaannya nanti seperti apa.
Terus terang, ini hal yang baru dan melibatkan instansi kepolisian dan sebagainya. Nah, cara kerjanya ini, kami masih meraba-raba karena memang juknisnya belum ada. Kami kemarin koordinasi dengan provinsi, tetapi provinsi kelihatannya juga masih koordinasi sama pusat.
Jadi, opsen ini kalau secara prinsip kami sangat berterima kasih. Hanya saja, kami perlu banyak bimbingan dari pusat dan provinsi terkait dengan implementasinya.
UU HKPD memberikan fleksibilitas bagi pemda dalam mengenakan PBB, menurut Anda?
Ini memang memberikan keleluasaan bagi kami untuk melakukan simulasi penghitungan PBB. Kalau sekarang kan terkesan kaku. Nah, nanti tarifnya akan sebesar 3% hingga 5% dan NJOP-nya 20% hingga 100%.
Ini memberikan kesempatan kepada kita untuk menata mana yang masyarakat berpenghasilan rendah yang perlu kita beri keringanan, lalu mana yang berpenghasilan tinggi agar bisa menyubsidi yang masyarakat berpenghasilan rendah.
Perbedaan angka ketetapan pajaknya juga bakal bisa lebih smooth karena kemarin itu perbedaannya agak kasar. Di Surabaya itu yang [NJOP] di bawah Rp1 miliar tarifnya 0,1%, begitu di atas Rp1 miliar jadi 0,2%.
Akhirnya, mereka yang naik lapisan tarif ini akan terasa sekali nilai ketetapan PBB-nya. Dengan UU HKPD, peralihan antarlapisan tarif ini bisa lebih smooth. (rig)