Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman. (istimewa)
JAKARTA, DDTCNews – Covid-19 telah mengguncang berbagai sektor usaha, termasuk tekstil dan produk tekstil (TPT) karena menurunnya permintaan. Berbagai stimulus dari pemerintah, termasuk insentif pajak, tidak bisa otomatis menyelamatkan sektor industri itu dari tekanan pandemi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman menilai pemulihan industri tekstil cenderung lambat karena memiliki rantai pasok yang panjang. Mulai dari hulu yang memproduksi serat benang hingga pabrik garmen pada hilir.
Menurutnya, jurus paling efektif memulihkan sektor industri tekstil adalah dengan melindungi pasar dalam negeri dari gempuran tekstil impor. Hal ini bisa dilakukan melalui mengenaan bea masuk tambahan atau safeguard. DDTCNews sempat mewawancarai Rizal. Berikut kutipannya:
Bagaimana kondisi industri tekstil pada masa pandemi Covid-19?
Utilisasi [pemanfaatan kapasitas produksi terpasang] yang terburuk industri tekstil dan produk tekstil ini terjadi pada Mei-Juni, pas mau Lebaran. Rata-rata utilisasi di bawah 20%, bahkan ada yang dalam seminggu paling beroperasi 1-2 hari.
Faktor yang pengaruh besar itu PSBB (pembatasan sosial berskala besar). Nah, PSBB itu sangat berdampak ke kami karena pasar, seperti Pasar Baru dan Tanah Abang, tutup. Barang dari pabrik tidak bisa ke sana.
Mulai membaik ketika PSBB dilonggarkan, sekitar Juli-Agustus. Saat ini, utilisasi sudah mulai merangkak naik. Sekarang, rata-rata utilisasi untuk sektor hulu atau fiber serat kain sekitar 40%-50%,.
Untuk sektor tengah atau kain sekitar 50%. Sementara untuk sektor hilir atau pakaian jadi, pada produk ekspor rata-rata di atas 70%, tapi yang garmen lokal di bawah 40%.
Apakah bisa dikatakan sudah mulai pulih?
Rantai pasok di industri tekstil ini panjang dari hulu ke hilir. Jadi, karena panjang ini, untuk bangkit lagi juga lambat. Sangat banyak faktor terlibat. Dulu kami pernah mengusulkan stimulus ke pemerintah yang kaitannya dengan mengurangi tekanan terhadap cash flow, salah satunya subsidi listrik.
Waktu itu awalnya kami minta pembayaran listrik ditunda karena cash flow sedang berat. Kemudian, kami minta PLN menghapus rekening minimum 40 jam atau abonemen tapi pemerintah terlambat. Pembebasan abonemen baru ada Agustus-September, sedangkan utilisasi sudah mulai naik.
Yang bisa memakai pembebasan abonemen 40 jam itu hanya industri tekstil yang utilisasinya sekitar 10% sampai 20%. Akhirnya, kami minta potongan tagihan langsung tapi tidak terealisasi karena PLN juga curhat kalau mereka ikut rugi.
Tahun ini, kami memproyeksikan pertumbuhan industri tekstil minus 1% sampai 2%. Tahun lalu, kami bisa tumbuh positif 15%. Kalau tahun depan, kami perkirakan bisa di positif tapi belum bisa tahu persis.
Pemerintah sudah memberikan berbagai insentif pajak. Apakah terasa dampaknya?
Dari hasil diskusi dengan teman-teman, sebagian sudah memanfaatkan dan merasakan. Namun, sebagian umum masih merasa kurang efektif. Ini karena pertama, buat jualan saja kami susah, jadi apa yang mau dikenakan PPN dan dapat insentif PPN [restitusi dipercepat]?
Kedua, soal angsuran PPh, kami juga sudah tidak ada pemasukan. Jadi, kondisinya kurang tepat secara waktunya. Makanya, soal insentif PPh dan PPN itu, mohon maaf, dampaknya kecil. Yang menggunakan mungkin ada, tapi sepertinya tidak banyak.
Lalu, apa yang sebetulnya dibutuhkan untuk pulih dari pandemi?
Hal paling penting itu proteksi pasar dalam negeri. Kalau pasar dalam negeri enggak diproteksi, barang impor masih banyak, kami tidak akan bisa bersaing. Artinya, pangsa pasar yang seharusnya bisa diisi barang dalam negeri malah justru diisi produk impor.
Makanya, API mengajukan safeguard, yang sudah keluar PMK (peraturan menteri keuangan) nomor 161, 162, dan 163 tahun 2019. PMK ini mengatur pengenaan bea masuk tambahan untuk HS benang, kain, dan tirai. Ini proteksi dalam negeri karena harganya enggak akan kompetitif.
Saat ini sedang diproses juga safeguard untuk karpet dan pakaian jadi. Sudah lewat masa penyelidikannya. Mudah-mudahan awal tahun depan bisa keluar [PMK] kalau lancar. Artinya, satu per satu faktor yang menghambat pertumbuhan industri kita minimalisasi.
Selanjutnya, kami minta pemerintah mengeliminasi regulasi yang justru memberatkan industri. Contohnya, soal lingkungan terkait dengan FABA (fly ash dan bottom ash) yang masuk limbah B3.
Ini cuma ada di Indonesia karena di luar negeri FABA tidak masuk B3. Kalau masuk B3, pada proses pembelian, penanganan, penyimpanan, dan penggunaan akan ada biaya tambahan.
Kemudian, ada lagi Permendag (peraturan menteri perdagangan) No. 77/2019 yang kaitannya dengan tata niaga impor. Kami sedang minta direvisi yang kaitannya dengan produsen mengimpor barang.
Kami bukan anti-impor, tapi impor itu harus terkendali. Kalau tidak terkendali, bagaimana nasib produsen dalam negeri? Sedangkan secara harga, kami enggak bisa bersaing dengan barang impor.
Konsumen kita ini masih price oriented. Jarang sekali yang beli karena kualitasnya yang benar-benar bagus, apalagi karena cinta produk dalam negeri.
Selanjutnya, soal restrukturisasi mesin. Kami minta programnya diaktivasi lagi. Alhamdulillah, tahun depan, Kemenperin akan mengadakan lagi. Mesin yang ada sekarang, umurnya lebih 20 tahun, mungkin 50% lebih. Ini terutama di sektor tengah atau benang. Terakhir ada itu 7 tahun lalu.
Terakhir, soal perjanjian perdagangan internasional. RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) bagi kami enggak bagus karena ini ada kepentingan China menguasai pasar Asean Plus.
Selama ini kami dengan Asean yang [bea masuknya] 0% sudah oke. Lumayan dominan dengan negara lain karena kami punya industri yang terintegrasi. Nah, Indonesia—Jepang, selama ini sudah punya IJEPA (Indonesia Japan Economic Partnership Agreement) yang bea masuknya 0%.
Jepang jadi salah satu tujuan ekspor tekstil kami. China—Jepang, belum punya kesepakatan. Ketika RCEP berlangsung dan ada penurunan tarif sampai 0%, artinya kami akan bersaing dengan China masuk ke Jepang. Belum lagi Korea Selatan, Australia, dan New Zealand.
Bagaimana pendapat Anda mengenai sistem dan kebijakan pajak saat ini?
Sistem pajak sekarang sudah jauh lebih baik. Ada perkembangan yang signifikan dan semakin bagus. Sudah ada sentuhan teknologi dan informasi sehingga kami makin dimudahkan. Pelayanan dan fasilitas juga meningkat.
Yang paling terasa ya soal pemanfaatan teknologi. Jadi, sudah semakin memudahkan. Enggak lagi habis tenaga dan waktu kalau ketika mengurus pajak.
Apa harapan Anda agar sistem pajak di Indonesia semakin baik?
Barangkali yang pertama soal komunikasi. Ini kaitannya dengan kebijakan yang dibutuhkan untuk industri atau minimal ketika menyosialisasikan kebijakan, agar benar-benar tepat. Artinya tepat ini adalah tepat program dan tepat waktunya. Seperti ketika kita makan, ya saat kita merasa lapar.
Kedua, barangkali penting untuk pemerintah membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha. Dulu, kami pernah usul soal penghapusan PPN pada TPT secara bertahap.
Misalnya, dari serat dijual ke pabrik benang, ada PPN. Kemudian dari benang ke kain, ada PPN. Dari kain ke pakaian jadinya pun ada PPN. Artinya ini 10%, 10% 10%, jadinya banyak.
Makanya kami meminta, memunginkan nggak kalau PPN langsung ditanggung oleh konsumen akhir? Jadi kalau baju atau ya PPN di department store.
Karena memang PPN ini yang menjadi hambatan sehingga jadi beban biaya tambahan bagi kami. Saya tidak tahu apakah mungkin atau tidak, tapi kami butuh ini mengingat alur proses tekstil yang panjang.
Kami mengusulkan ini sudah lama, sejak Bu Sri Mulyani jadi menteri zamannya Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Jawaban pemerintah saat itu, karena ini menyangkut pendapatan negara. Tapi sejujurnya itu memberatkan buat kami. (Kaw/Bsi)