Kepala BKF Kemenkeu Suahasil Nazara.Â
PAJAK menjadi instrumen fiskal yang biasa dipakai untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat. Saat ini, ada progresivitas dalam sistem pajak Indonesia. Lantas, apakah sistem ini sudah cukup maksimal menciptakan keadilan bagi seluruh penduduk, baik itu pelaku usaha ataupun masyarakat umum?
InsideTax (majalah perpajakan bagian dari DDTCNews) berkesempatan mewawancarai Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara untuk mengetahui arah penggunaan kebijakan fiskal, terutama pajak di Indonesia. Apalagi, berbagai insentif pajak bermunculan akhir-akhir ini. Sebagian insentif juga masih digodok oleh pemerintah. Apakah insentif ini juga mampu menjawab masalah ketimpangan? Berikut kutipan wawancaranya.
Menjelang akhir tahun, banyak insentif pajak yang digodok. Apa yang sebenarnya ingin disasar pemerintah?
Kami selalu terus mencari terobosan-terobosan baru bagaimana pajak dapat membantu gerak perekonomian. Pajak itu bukan tujuan, melainkan alat. Pajak adalah alat untuk mendorong pertumbuhan, mendorong penciptaan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan. Sebagai alat, sebenarnya dia [pajak]Â valuefree. Kalau alatnya dipakai dengan baik, akan membantu mengantar kita ke tujuan tadi. Namun, kalau dipakainya dengan cara yang enggak baik, ini [tujuan utama] malah enggak akan pernah tercapai.
Terkadang, kami membuat terobosan untuk menciptakan basis pajak baru. Kadang-kadang, kami membuat terobosan untuk memberi insentif saja. Nah, untuk insentif ini mindset besarnya adalah proses bisnis yang terus berkembang. Misalnya, untuk sektor hulu migas, ada proses bisnis baru yang namanya gross split. Tentu ini mesti bisa kita atur fasilitas pajaknya karena berbeda dengan sistem cost recovery. Dengan demikian, pelaku usaha juga mempunyai kepastian, misalnya dalam periode eksplorasi, ada pembebasan PPN, PBB, dan lainnya sampai tercapai level keekonomian.
Apakah juga ada kaitannya dengan investasi?
Iya, ada insentif yang digunakan untuk mendorong investasi. Salah satunya, kita makin lama makin yakin bahwa investasi ke Indonesia harus didorong lebih banyak lagi melalui equity financing dari pada debt financing. Dengan demikian, salah satunya kita gunakan tax holiday. Kami selama ini mendengar keluhan terkait tax holiday sehingga langsung memperbaikinya. Salah satu perbaikannya dengan menggunakan sistem Online Single Submission(OSS) agar lebih cepat dan mudah.
Selain itu, untuk mendorong equity financing, kami juga akan mengubah peraturan mengenai penggunaan nilai buku untuk kegiatan spin off. Spin off boleh pakai nilai buku, asal itu dimaksudkan untuk bikin perusahaan. Perusahaannya itu merupakan joint venture dengan asing. Nah, ini nanti kita kombinasikan dengan relaksasi daftar negatif investasi (DNI). Kalau pakai nilai buku, mereka kan enggak usah bayar pajak capital gain. Kalau sekarang, mau spin off, harus melakukan revaluasi. Selisih dari hasil revaluasi akan menjadi capital gain dan kena PPh.
Bagaimana rencana insentif yang berhubungan dengan research and development (R&D)?
Nah, itu logika lain yang muncul dalam terobosan-terobosan kami. Kita mencari insentif untuk kegiatan yang benar-benar kita itu parah, yaitu litbang (R&D) dan pendidikan vokasi. Jadi, kami lagi mencari formatnya, usulannya berbentuk super deduction. Misalnya, biaya aktualnya 100, boleh dibiayakan 150 atau 200. Ya silakan saja, asal nanti benar-benar bisa mendorong kegiatan R&D dan vokasi. Sekarang, yang lagi dilakukan adalah menentukan definisi kegiatan vokasi. Kemarin muncul pemikiran vokasi itu berbasiskan kompetensi. Dari Kementerian keuangan ikut saja dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Tenaga Kerja.
Bagaimana dengan rencana insentif untuk properti?
Properti memang agak khusus di dalam suatu perekonomian. Properti itu adalah yang paling bisa diagunkan. Kalau dijaminkan ke bank, berarti bisa buat proses multiplier. Memang ada yang mengatakan kepada kita, properti Indonesia agak lemah. Salah satunya karena yang menghasilkan keuntungan paling tinggi adalah properti mewah. Karena itu, seharusnya dibuka kesempatan untuk kelompok itu sehingga, hipotesisnya, akan ada kemauan untuk membangun yang lebih menengah—bawah. Masalahnya, kalau dihitung-hitung, misalnya nilai transaksinya 100, total pajak untuk penjual dan pembeli bisa 40-nya. Nah, kami sedang memikirkan untuk mengurangi PPh Pasal 22 dari 5% menjadi 1%.
Ada anggapan sistem pajak kita belum cukup adil sehingga banyak penerimaan justru dari kelompok menengah, bukan yang paling kaya. Bagaimana pandangan Anda?
Kita bikin studinya kok. Kami membagi penduduk Indonesia ke dalam 10 kelompok atau desil dari yang paling miskin hingga yang paling kaya. Kita melakukan estimasi mengenai pengeluaran bantuan sosial dan belanja pemerintah lainnya yang diterima masyarakat, lalu kita kurangkan dengan pajak yang dibayarkan. Hasilnya, pada 2017, desil 1-5 itu net menerima. Artinya, dia menerima anggaran lebih banyak dari pada pembayaran pajak. Selanjutnya, mulai dari desil 6-10 paling kaya, net-nya membayar.
Ini berbeda dengan 5 tahun sebelumnya, yakni 2012. Pada tahun ini, 90% atau desil 1-9 mencatatkan netmenerima. Hanya 1 desil atau 10% penduduk terkaya yang mengalami net membayar. Dengan demikian, dari perbandingkan kondisi 2012 dan 2017, APBN itu lebih pro kepada pengurangan ketimpangan. Nah, memang nanti yang jadi pertanyaan, yang seharusnya atau ideal net membayar itu seharusnya dari kelompok mana? Biar ini yang menjadi perdebatan atau diskusi publik.
Setelah melihat data itu, apa yang terlintas untuk pembuatan kebijakan selanjutnya?
Kalau kita bilang bahwa tax ratio kita masih harus naik, cara menaikkannya kan dengan memperbesar dari sisi penerimaan negara yang dibayarkan di masing-masing desil. Namun, seberapa besar pelebaran atau progresivitasnya, ya perlu diskusi lanjutan. Ini kan menjadi isu politik.
Saat ini, dengan sistem pajak kita, pajak kita progresif. Namun, ada yang mengatakan kurang progresif kalau mau menangani ketimpangan. Saya mengerti yang dimaksud. Kalau mau dibuat lebih progresif lagi, kita tentu harus melihat siapa yang bayar dan siapa yang mendapat manfaat. Nah, itu yang kemudian akan menjadi perdebatan publik. Itu akhirnya menjadi keputusan politik. Secara politik, di level mana dia [progresivitas] dianggap sudah optimal. Dengan 3 bracket apakah cukup? Atau perlu ditambah menjadi 4 atau 5?
Begitu juga untuk tarif PPh Badan, apakah 25% sudah dianggap optimal? Apakah itu harus mengacu kepada negara tetangga atau kita tentukan tarif kita sendiri? BKF menyiapkan simulasi-simulasi jika tarif turun dari 25% ke 20%, dampak ke pendapatannya seberapa besar. Begitu juga kalau turun ke 22%. Ini nanti yang akan kita berikan ke pemerintahan baru. Intinya kami di birokrasi harus siap dengan situasi dan masukan untuk pemerintah selanjutnya.
Simak wawancara Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi 40. Unduh majalah InsideTax di sini. (kaw)