Direktur P2 Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama
JAKARTA, DDTCNews – Perubahan lanskap perpajakan yang begitu cepat telah memaksa berbagai otoritas pajak di dunia menjadikan edukasi pajak sebagai bagian dari strategi inti untuk meningkatkan kepatuhan pajak.
Begitu pula di Indonesia. Lalu seperti apa strateginya? Untuk mengetahui lebih jauh, kami menemui Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama untuk sebuah wawancara. Petikannya:
Apa latar belakang DJP menggencarkan agenda edukasi pajak?
Selama ini kita amati, sulit meningkatkan kepatuhan wajib pajak, kecuali untuk pegawai atau karyawan yang penghasilannya sudah dipotong pajak dan disetor oleh pemberi pekerjaan dan mereka tidak ada celah untuk menghindar.
Tapi kalau bicara bisnis yang entah skala kecil, menengah atau besar, kepatuhan di situ cenderung rendah, mereka tidak mau tahu atau malah resisten. Jadi ketika mereka disuruh bayar pajak, mereka pakai alasan apapun untuk menolak seolah pajak itu beban semata-mata.
Mereka tidak melihat uang pajak ini ada kembalinya ke rakyat melalui pemberian fasilitas dari negara ke masyarakat seperti pembangunan jalan dan lainnya. Kepatuhan ini sangat rendah di kalangan bisnis dan profesional. Itu artinya, soal kepatuhan ini adalah persoalan mendasar.
Karena itu, kami lari ke hulu lagi, yaitu ke dunia pendidikan. Ternyata, mereka yang tidak patuh ini tidak pernah mendapat pemahaman yang baik mengenai pajak atau manfaatnya. Itulah sebabnya, agenda edukasi pajak ini dimulai dari pendidikan paling dasar, yaitu SD, SMP, SMA.
Apa target dan prioritas agenda edukasi pajak?
Untuk tahap pertama ini kami prioritaskan bagi mahasiswa, kurikulum SD, SMP, dan SMA targetnya tahun ini kurikulumnya selesai. Karena levelnya mahasiswa, jadi nanti dalam 5 tahun lagi mereka mungkin jadi wajib pajak. Ini investasi yang tercepat yang kami garap lebih dahulu.
Agustus lalu resmi kurikulum Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) masuk semua, Pendidikan Agama, Kewarganegaraaan, Bahasa Indonesia dan Pancasila. Jadi nanti mahasiswa baru dapat materi pajak. Supaya mereka tidak kaget lagi kalau sudah jadi wajib pajak dan bayar pajak.
Setelah itu masuk kurikulum program selanjutnya yaitu edukasi kepada dosen MKWU. Supaya dosen bisa mendapat pemahaman yang baik mengenai materi yang kami jelaskan, dan supaya dosen bisa menjelaskan lebih detil ke mahasiswa, baik universitas negeri maupun swasta.
Apa tantangan terbesar dalam menggencarkan agenda tersebut?
Tantangan terbesar kita sebenarnya bagaimana mengajak Kemendikbud dan Kemenristekdikti mau ikut membantu agenda edukasi pajak ini. Jadi ketika mereka sangat mendukung dan memudahkan kita, tantangan yang ada sekarang hanya pada tingkat implementasinya.
Pada tahap ini kami harus mengajarkan materi perpajakan pada dosen dan guru. Nah, kadang ada perbedaan pemahaman soal pajak, baik pada dosen atau guru. Untuk menyelesaikan perbedaan ini, secara internal kami lakukan desiminasi ke pegawai jika ada peraturan baru.
Kami keliling. Tapi ya namanya 40 ribu pegawai DJP, ada 1 atau 2 yang berbeda ya itu maklum saja. Tapi ada layanan pengaduan, baik di KPP atau Kanwil, kalau masalah seperti ini bisa kita angkat dan beri penegasan. Jadi semuanya bisa seragam dalam mitigasi risiko.
Adakah cara-cara kreatif yang dilakukan DJP dalam program ini?
Kalau soal kreatif itu kan soal metodologi, tapi secara substansial dan prinsipil tidak masalah karena sudah masuk dalam kurikulum. Tapi soal metodologi kami banyak persiapkan, seperti Pajak Bertutur, itu semacam kick off atau launching inklusi kesadaran pajak.
Contohnya, edukasi pajak ke SD, pajak itu seperti kalau di rumah, seorang ayah tidak punya uang, maka anggota keluarga lain tidak bisa beli makanan, tidak bisa bayar sekolah, pakaian. Kalau tidak ada uang dari pajak, kita tidak bisa bangun jalan, jembatan dan sekolah.
Ini contoh cara menganalogikan pajak terhadap APBN melalui kehidupan rumah tangga. Jadi inilah soal kreativitas. Bukan justru anak kecil diajarkan seperti ‘Pajak adalah kontribusi wajib pajak dan ini dan itu..’ Keliru itu.
Bagaimana respons para subjek edukasi pajak ini?
Kalau diperhatikan, dari yang kami lakukan di 2.200 sekolah, itu secara total justru kreativitas yang muncul, bukan pembelajaran seperti di kelas. Tapi memang kami sudah desain bagaimana menyampaikan materi pajak ke siswa SD, SMP, SMA. Caranya tentu tidak kaku dan baku.
Tapi kami tekankan kreativitas supaya lebih ‘kena’. Bahkan nanti di bimbingan teknis seperti bimbingan untuk dosen, kami juga coba arahkan mereka agar memanfaatkan kreativitas itu. Kami punya video dan infografis, supaya anak SD sampai mahasiswa bisa menangkap hal itu.
Kami juga sudah punya micro-site web yang kreatif. Kalo soal pajak, kami ingin tidak perlu memakai cara yang jadul-jadul deh. Tapi yang penting masih dalam koridor sopan, tidak merugikan pihak lain, diskriminatif, SARA atau apapun. Asal kreatif, jalan terus.
Apa kaitan edukasi pajak dengan reformasi perpajakan?
Edukasi kesadaran pajak ini tidak terlepas dari reformasi perpajakan, reformasi itu ada juga yang di bidang administratif seperti SDM, struktur organisasi, proses bisnis dan IT, ada juga regulasi. Tentu ini harus ditunjang kesadaran masyarakat soal kepatuhan bayar pajak.
Kami juga membuat tema reformasi itu soal edukasi yang lebih serius, jadi bukan sosialisasi. Kami ingin lebih mendasar, dengan konsep edukasi masyarakat, terutama pelajar yang bukan wajib pajak. Jadi, kami ingin investasi ke depan, edukasi ini kan investasi masa depan.
Targetnya, ketika mereka sudah wajib pajak, mereka siap dengan kepentingan perpajakan. Inilah bagian dari reformasi perpajakan. Itulah sebabnya, kami pakai istilah Inklusi Kesadaran Pajak. Jadi, tidak hanya sosialisasi ke wajib pajak, tapi juga edukasi ke ranah pendidikan.*
Simak wawancara Direktur P2 Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama selengkapnya di InsideTax edisi khusus akhir tahun di sini.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.