Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi (Foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews –KETIDAKPASTIAN pemulihan perekonomian global yang menggerus penerimaan pajak perdagangan internasional dalam beberapa tahun terakhir ini telah memaksa Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) untuk kreatif dan menggencarkan extra effort guna mengamankan target penerimaan.
Namun, DJBC juga memiliki tugas pokok lain di luar penerimaan, yaitu memproteksi, memfasilitasi, dan memberi layanan kepabeanan. Lalu bagaimana menyeimbangkan keempat tugas ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, InsideTax mewawancarai Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi. Petikannya:
Capaian pajak perdagangan internasional hingga kini masih tertekan. Apa respons kebijakan DJBC?
Perlu diketahui, harga-harga komoditas sampai sekarang belum sepenuhnya pulih seperti periode 2008, dan saat ini pemanfaatan skema Free Trade Agreement (FTA) semakin tinggi. Posisi sampai September 2017 itu 28% impor menggunakan skema FTA.
Namun, berdasarkan pengamatan kami, kondisi perekonomian dan perdagangan global saat ini menunjukkan perbaikan. Hal ini terlihat dari devisa impor sepanjang 2017 atau sampai September 2017 yang tumbuh 16,14% (yoy).
Pertumbuhan positif yang terjadi sepanjang tahun ini kami manfaatkan dan kami kelola semaksimal mungkin untuk meningkatkan penerimaan pajak perdagangan internasional seperti bea dan pajak dalam rangka impor (PDRI).
Adapun kebijakan dan strategi yang dilakukan DJBC dalam meningkatkan penerimaan tertuang dalam program penguatan reformasi kepabeanan dan cukai (PRKC), di antaranya Program Penertiban Importir Berisiko Tinggi (PIBT) dan Program Sinergi dengan Ditjen Pajak (DJP).
Sinergi dengan DJP ini terus kami perkuat, antara lain berupa joint program/operation seperti joint analysis, audit,dan collection. Lalu ada intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan berupa perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan, pengamanan fasilitas fiskal, dan integrasi proses bisnis dan utilisasi database seperti single identity.
Dengan program tersebut, kami menyakini selain dapat meningkatkan penerimaan secara langsung dari aktivitas impor berupa bea masuk dan PDRI, juga memperluas basis pajak dengan pencantuman indentor/ pemilik barang impor, yang pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan.
Mengenai penambahan barang kena cukai, seperti apa perkembangannya?
Seperti yang sudah kita ketahui, dalam APBN 2018 telah disepakati adanya target penerimaan dari objek barang kena cukai lainnya yaitu sebesar Rp500 miliar, yang mana target tersebut ditujukan untuk objek cukai yang baru, yaitu kemasan plastik.
Namun, dalam tataran implementasinya belum dapat langsung diterapkan pada awal tahun 2018 mengingat pemerintah saat ini masih dalam tahap pembahasan serta koordinasi antar-K/L terkait, serta belum mendapatkan persetujuan DPR mengenai pemungutan cukai kemasan plastik tersebut.
Untuk penambahan objek cukai lainnya, memang terdapat berbagai masukan. Namun, saat ini pemerintah masih melakukan kajian dan pembahasan secara intensif mengenai objek-objek yang berpotensi untuk dikenakan cukai.
Kami berharap ke depan dapat ditetapkan penambahan beberapa objek cukai baru selain plastik, yang konsumsinya harus dikendalikan karena eksternalitas negatifnya.
Dalam 2 tahun ini, tugas penerimaan di DJBC terlihat mendominasi. Bagaimana dengan tugas lainnya?
Selain penerimaan, DJBC juga mengemban tugas proteksi, fasilitasi perdagangan, dan pelayanan kepabeanan. Keempat tugas pokok tersebut harus dilaksanakan seoptimal mungkin, tidak ada yang mendominasi karena keempatnya harus seimbang dan dikelola dengan sebaik-baiknya.
Kalaupun penerimaan seolah mendominasi, ini karena penerimaan adalah tugas DJBC yang paling gampang dinilai dan dievaluasi. Untuk fasilitasi perdagangan dan pelayanan kepabeanan, evaluasinya cukup rumit.
Untuk mengevaluasi tugas tersebut, mekanismenya melalui survei, ataupun dengan melihat indiator-indikator kinerja yang diterbitkan oleh pihak-pihak ketiga yang kredibel, misalnya peringkat Ease of Doing Business, Logistics Performance Index, dan Global Competitiveness Index.
Untuk menyeimbangkan keempat tugas itu, DJBC mengimplementasikan manajemen risiko dalam sistem kepabeanan dengan melakukan profiling pada pengguna jasa kepabeanan. Dengan sistem ini, DJBC memberi treatment berbeda kepada pengguna jasa sesuai profil risikonya.
Dengan demikian, proses pemeriksaan kepabanan tidak akan mengakibatkan terhambatnya arus barang dan menimbulkan high cost economy, yang pada akhirnya dapat mendorong produk-produk dalam negeri untuk mampu bersaing di area perdagangan internasional.
Jika sudah ada manajemen risiko seperti itu, kenapa DJBC paling sering kalah di Pengadilan Pajak?
Dari jumlah sengketa yang masuk, memang mayoritas DJBC sering kalah. Namun, jika melihat dari sisi jumlah penetapan, baik yang ke Pengadilan Pajak maupun yang tidak, sesungguhnya persentasenya kecil, sekitar 5%. Artinya secara umum penetapan DJBC sudah bagus dan importir menerimanya.
Meskipun demikian, DJBC akan terus berupaya untuk meningkatkan kualitas penanganan perkara di Pengadilan Pajak melalui serangkaian upaya seperti workshop, penguatan alat bukti, mendatangkan ahli dan sebagainya.
Selain itu, pengawasan terhadap nilai pabean juga dititikberatkan ke tahap post clearance state, artinya melalui audit. Kami juga terus memperbaiki kualitas penetapan dan keputusan keberatan, mengingat kekalahan banding adalah buah penetapan atau keberatan yang kurang sempurna. (Bsi)
Simak wawancara Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi khusus akhir tahun di sini.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.