PENGELOLAAN EKONOMI

Antara Bias Optimis dan Bias Pesimis

Redaksi DDTCNews
Kamis, 29 Juni 2017 | 08.02 WIB
Antara Bias Optimis dan Bias Pesimis

Ilustrasi: Kota Jakarta (Gettyimages)

BEBERAPA hari ini muncul polemik di berbagai forum diskusi, mulai dari obrolan di warung kopi, grup-grup chatting sampai acara-acara talkshow di televisi. Polemik itu tidak lain tentang situasi perekonomian Indonesia terkini. Menariknya, situasi itu dilihat dari perspektif yang saling bertolak belakang.

Satu pihak melihat situasi tersebut dengan perspektif bias optimis. Perspektif ini menyodorkan data-data yang intinya menyugesti bahwa ekonomi RI dalam posisi yang sangat solid, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Di pihak ini berdiri para pejabat pemerintah, bank sentral, dan para endorser-nya.

Sebaliknya, pihak yang lain melihat situasi yang sama dengan perspektif bias pesimis. Perspektif ini mendesakkan data-data yang intinya menyugesti bahwa ekonomi RI dalam posisi berbahaya, situasi sudah genting. Di pihak ini berdiri para oposan dan endorser-nya, seringkali juga para pelaku usaha.

Ada banyak contoh untuk situasi ini. Soal utang, misalnya. Mereka yang bias optimis biasanya akan membandingkan rasio utang RI dengan negara lain yang lebih tinggi seperti Malaysia atau Filipina. Sementara yang bias pesimis akan menyodorkan data lonjakan stok utang yang ditanggung RI.

Kedua perspektif itu sama-sama bias karena data perbandingan rasio utang sendiri saja tidak cukup untuk bisa mengetahui tingkat risiko ekonomi sebuah negara. Tidak lantas karena rasio utangnya lebih rendah, maka bisa disimpulkan ekonominya baik sekali alias lebih kuat. Pembodohan itu namanya.

Begitu pula dengan lonjakan utang. Tidak lantas karena ada lonjakan, maka ekonomi dalam bahaya. Atau ada obligasi BUMN yang jatuh tempo dan tidak bisa dibayar, maka RI akan kembali jadi pasien IMF. Ada data lain yang harus disertakan untuk bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Data rasio tabungan, misalnya. Dengan data itulah misalnya, kita tahu kenapa meski rasio utang Malaysia dan Filipina, juga Jepang dan AS, jauh lebih tinggi daripada Indonesia, peringkat surat utang negara-negara yang rasio tabungannya lebih tinggi dari Indonesia itu tetap lebih baik dari kita, alias lebih rendah risiko bangkrut dan ngemplang-nya.

Kalau kita cermati, perspektif bias ini terjadi pada banyak sisi. Ambil contoh soal APBN. Mereka yang bias optimis akan bercerita tentang membaiknya kredibilitas fiskal tanpa mengungkap bahwa perbaikan itu hanya terjadi pada sisi belanja, belum pada sisi penerimaan yang lubangnya masih menganga.

Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi. Perspektif bias optimis akan berkisah bagaimana kinerja ekspor kembali jadi tulang punggung pertumbuhan, dengan ditopang konsumsi dan investasi swasta serta belanja pemerintah, hingga laju pertumbuhan pada kuartal I 2017 bisa melampaui 5%.

Para pendukung perspektif bias optimis ini tidak akan menguraikan bahwa kenaikan ekspor itu bukan didorong perbaikan struktural, melainkan didorong oleh kenaikan harga tembaga dan konsentrat yang keran ekspornya tiba-tiba dibuka hingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Mereka juga akan mengaburkan fakta bahwa konsumsi swasta yang meningkat itu hanya diukur dari acara-acara perusahaan di hotel-hotel yang kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kontribusi konsumsi rumah tangga yang masih konsisten melambat.

Besar kemungkinan para pendukung perspektif bias optimis ini juga akan melupakan bagaimana pertumbuhan investasi yang kontribusinya tidak signifikan itu didominasi oleh sektor non-tradable alias bukan sektor yang produktif, yang sekaligus menjelaskan kenapa tingkat pengangguran tetap tinggi.

Banyak dari kita yang mengerti bagaimana persektif bias itu bekerja memengaruhi persepsi warga. Para pejabat pemerintah misalnya, selalu berupaya mengembangkan komunikasi dengan perspektif bias optimis. Sebaliknya, para oposan dan aktivis LSM, lebih mengedepankan perspektif bias pesimis.

Singkatnya, di tangan para pejabat pemerintah, yang "baik" akan menjadi "baik sekali", sementara di tangan para aktivis LSM, yang "buruk" akan menjadi "buruk sekali". Kalau "baik" menjadi "buruk" atau sebaliknya itu namanya bukan lagi bias, melainkan sudah memutarbalikkan fakta.

Perspektif bias, apakah itu optimis atau pesimis, sebetulnya sama belaka. Ia tidak berpretensi untuk menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi. Pokok yang dikejarnya kali pertama bukanlah pemahaman atau kedalaman yang mencerahkan, melainkan sentimen dan persepsi yang mendukung hegemoni.

Optimisme tentu tidak salah. Begitu pula pesimisme. Tapi perspektif yang bias baik optimis maupun pesimis jelas sama-sama berbahaya. Keduanya adalah wajah lain dari agitasi dan propaganda. Dengan kata lain: Hoax. Ketika itu terjadi, kita tahu apa dan siapa yang sedang dikorbankan.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.