LAPORAN DDTC DARI VIENNA (2)

Aspek Politik Aksi BEPS: Kolaborasi atau Kompetisi?

Denny Vissaro
Senin, 03 Juli 2017 | 10.02 WIB
Aspek Politik Aksi BEPS: Kolaborasi atau Kompetisi?

Profesor Alexander Rust (kiri) menunjukkan buku karya DDTC berjudul Perjanjian Pajak Berganda yang menjadi koleksi perpustakan Institute for Austrian and International Tax Law (Foto: DDTC)

VIENNA, DDTCNews—Pada 29 Juni hingga 2 Juli 2017, Institute for Austrian and International Tax Law dan Vienna University of Economics and Business kembali mengadakan konferensi pajak tahunan Rust Conference. Tema tahun ini adalah "Implementing Key BEPS Actions: Where do We Stand?"

Seperti tahun lalu, DDTC kembali mendapatkan undangan untuk menghadiri konferensi bergengsi ini. Kali ini, dua peneliti DDTC, yaitu B. Bawono Kristiaji dan Denny Vissaro, terpilih sebagai National Reporter bagi Indonesia. Sebagai informasi, National Reporter yang dipilih melalui seleksi ketat tersebut bertanggungjawab untuk menulis paper atas perkembangan BEPS di masing-masing negara. Denny Vissaro hadir sekaligus menjadi pembicara dalam konferensi internasional tersebut. Pada bagian pertama laporannya, telah diuraikan implementasi Aksi BEPS di berbagai negara. Berikut bagian kedua laporannya:

APAKAH implementasi Aksi BEPS memberikan sinyal harapan akan adanya komitmen jangka panjang dalam memberantas praktik BEPS secara global? Ataukah sebaliknya, tiap negara hanya peduli mengatasi praktik BEPS negaranya sendiri, namun melupakan kemungkinan adanya konsekuensi negatif terhadap negara lain?

Tidak dapat dimungkiri bahwa tiap perilaku perusahaan multinasional didasari oleh motif maksimisasi keuntungan secara agregat. Praktik penghindaran pajak yang selama ini dianggap ‘aman’ untuk dilakukan dapat saja merupakan bagian yang signifikan terhadap keuntungan yang selama ini didapat.

Sementara itu, semakin efektif suatu negara dalam mengatasi praktik BEPS, maka semakin sulit bagi pelaku praktik BEPS untuk mempertahankan strategi penghindaran pajaknya di negara tersebut. Maka konsekuensi logisnya, pelaku praktik BEPS akan mempertahankan keuntungannya dengan berupaya mengalihkan praktik BEPS ke negara lain yang lebih rentan terhadap praktik BEPS.

Pemikiran yang dilempar oleh Jeffrey Owens ini memicu diskusi yang cukup ‘panas’ sepanjang konferensi. Apakah hal ini berarti implementasi Aksi BEPS pada akhirnya menimbulkan negara winners dan losers?

Beberapa perwakilan negara berujar bahwa hal tersebut adalah hal yang wajar. Mereka berpendapat bahwa pada akhirnya Aksi BEPS yang bersifat kolaboratif hanya dapat dipertahankan sepanjang negara-negara memiliki kepentingan yang sejalan.

Di sisi lain, kemungkinan mengenai adanya negara winners dan losers ditolak secara tegas oleh David Duff, perwakilan dari Kanada yang juga merupakan akademisi dari British Columbia University. Dia berpendapat bahwa tidak mudah bagi suatu perusahaan multinasional untuk merealokasikan laba praktik BEPS sedemikian rupa. Dibutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk memaksimalkan keuntungan dari kelemahan sistem pajak suatu negara.

Dia optimis bahwa cepat atau lambat tiap negara akan segera mengoptimalkan upayanya dalam mengatasi penghindaran pajak internasional, tidak terkecuali negara-negara berkembang. Tambahnya, tanpa adanya implementasi Aksi BEPS sama sekali justru akan menyebabkan semua negara menjadi losers.

Pembedaan Standar

JEFFREY Owens menengahi diskusi tersebut dengan menekankan pentingnya perbedaan standar perlakuan yang dikenakan antara negara-negara maju dan negara berkembang. Dia menyadari tajamnya perbedaan karakter antara kedua kelompok negara tersebut, sehingga ‘kemudahan’ seharusnya diberikan kepada negara-negara yang memiliki prioritas khusus.

Salah satunya perbedaan perlakuan yang dikemukakan Owens adalah dalam hal insentif pajak. Beberapa negara dianggap memiliki kebijakan insentif pajak yang justru dianggap berbahaya (harmful tax practices) atau berpotensi dianggap berbahaya (potentially harmful tax practices) karena dapat memicu kompetisi pajak dalam memperebutkan basis pajak.

Sebagai catatan, beberapa kebijakan insentif pajak Indonesia masuk ke dalam daftar ‘dalam pantauan’ (under review), seperti pembebasan pajak terhadap investasi tertentu (investment tax allowance regime) dan kawasan tertentu (special economic regime). Hal ini dapat ditemui dalam Laporan Aksi 5 Proyek Anti-BEPS.

Seharusnya, menurut Owens, kebijakan yang diterapkan negara-negara tersebut diwajarkan dan diperbolehkan. Negara-negara berkembang sangat membutuhkan arus investasi dari negara-negara maju, yang pada akhirnya juga menguntungkan negara-negara maju.

Selain itu, ditambahkan oleh Michael Lang bahwa negara-negara berkembang juga jangan terlalu diintervensi ketika merumuskan desain kebijakan untuk Aksi BEPS lainnya, seperti CFC Rule dan Interest-Limitation Rule.

Walau demikian, pembedaan standar ini dianggap tidak realistis dan justru menimbulkan kerumitan baru. Pasquale Pistone berpendapat bahwa perbedaan yang terlalu tajam antar negara dalam mengimplementasi Aksi BEPS mempersulit penentuan alokasi hak pemajakan yang adil di tiap negara.

Pendapat ini tidak ditolak oleh perwakilan-perwakilan negara lain, namun mereka menganggap bahwa kesulitan-kesulitan baru yang mungkin akan timbul di masa mendatang seharusnya dianggap sebagai peluang untuk memasuki babak baru dalam kolaborasi kebijakan pajak internasional di masa mendatang. (Amu/Gfa)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.