SECARA teori, sistem pengenaan pajak penghasilan (PPh) dapat didasarkan pada dua model, yaitu global income tax system (global taxation) dan schedular income tax system (schedular taxation). Kedua model ini memiliki karakteristik dan cara penerapan yang berbeda serta kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Lantas, sistem pengenaan PPh mana yang lebih unggul dan banyak diterapkan di dunia?
Karakteristik dan Penerapan
Sistem pengenaan PPh berdasarkan global taxation adalah sistem yang mengenakan pajak atas seluruh jenis penghasilan tanpa memperhatikan karakteristik, sumber, dan jenis penghasilan yang diperoleh wajib pajak (Burns dan Krever, 1998). Dengan kata lain, sistem global taxation merupakan sistem yang mengenakan penghasilan berdasarkan accretion concept, yaitu konsep yang menjumlahkan seluruh jenis penghasilan tanpa memandang sumbernya (Avi-Yonah, Sartori, dan Amrian, 2011).
Dalam sistem global taxation, seluruh penghasilan, dari mana pun asalnya, akan digabungkan menjadi satu dengan berbagai pengurangan dan pembebasan hingga menghasilkan jumlah penghasilan kena pajak (PKP) secara keseluruhan. Selanjutnya, untuk menentukan jumlah PPh yang terutang, tarif pajak dengan formula tertentu akan diterapkan terhadap jumlah PKP tersebut (Ault dan Arnold, 2010).
Jika merujuk pada konsep penghasilan yang didefinisikan Haig-Simons, sistem global taxation merupakan sistem yang mengenakan PPh dengan tiga ketentuan. Pertama, pada praktiknya, sistem ini mengenakan PPh atas penghasilan yang sudah benar-benar diterima (Barker, 1996).
Kedua, dalam sistem global taxation, PPh akan dikenakan atas seluruh jumlah penghasilan atau harta kekayaan yang disimpan oleh wajib pajak dalam jangka waktu satu tahun dengan nilai yang tetap. Ketiga, sistem global taxation tidak selalu menggunakan tarif PPh yang bersifat progresif. Beberapa negara yang menerapkan sistem ini, memberlakukan tarif pajak efektif (OECD, 2006).
Sementara itu, dalam sistem pengenaan PPh berdasarkan schedular taxation, penghasilan akan dikategorikan berdasarkan sumber atau jenis penghasilannya. Kemudian, tiap kategori penghasilan tersebut akan dikenai pajak secara terpisah.
Oleh karena itu, dalam sistem ini, masing-masing kategori penghasilan dikenai pajak tersendiri dengan tarif pajak yang dapat berbeda meskipun diterima oleh wajib pajak yang sama (Plasschaert, 1988). Adanya kategorisasi sumber penghasilan dalam sistem schedular taxation menyebabkan sistem ini juga dikenal dengan istilah konsep sumber (source concept).
Kategorisasi ini juga menyebabkan adanya prosedur dan tata cara penghitungan, pelaporan, dan pemungutan pajak yang berbeda untuk tiap kategori penghasilan. Misalnya, untuk beberapa kategori penghasilan berlaku withholding system sebagai tata cara pemungutan pajaknya. Sementara itu, untuk kategori penghasilan lainnya dengan cara melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) berdasarkan self-assessment system.
Walaupun secara teori sistem pengenaan PPh terbagi menjadi dua model terpisah, pada praktiknya, kedua sistem tersebut diterapkan secara bersama-sama oleh beberapa negara. Sistem inilah yang disebut dengan a dualistic or composite system.
A dualistic or composite system merupakan sistem pengenaan PPh yang mengkombinasikan antara pure global taxation dan pure scheduler taxation (Burns dan Krever, 1998). Dalam sistem ini, tidak semua penghasilan digabung untuk dikenai pajak secara global. Namun, terdapat penghasilan-penghasilan yang dikenai pajak secara terpisah meskipun keduanya diterima oleh wajib pajak yang sama. Oleh karena itu, pada saat perhitungan harus dipisahkan terlebih dahulu penghasilan yang dikenai pajak berdasarkan schedular taxation dengan penghasilan yang dikenai pajak berdasarkan global taxation.
Mana yang Lebih Unggul?
Burn dan Krever (1998) menyebutkan bahwa banyak ahli kebijakan pajak yang menganggap sistem global taxation lebih unggul dibandingkan dengan sistem schedular taxation. Keunggulan tersebut tidak terlepas dari beberapa kelebihan yang dimiliki sistem ini.
Pertama, mencerminkan ability-to-pay wajib pajak karena sistem ini hanya menerapkan tarif PPh tunggal dan bersifat progresif atas keseluruhan penghasilan (Eggert dan Genser, 2005). Kedua, menyederhanakan struktur penghasilan yang akan dikenai PPh karena sistem ini menghapuskan perbedaan pengenaan tarif PPh antara penghasilan normal (ordinary income) dan capital gains (Robinson, 1984). Ketiga, memberikan kemudahan kepada wajib pajak dari segi administratif karena wajib pajak hanya wajib melaporkan satu Surat Pemberitahuan Pajak (SPT).
Terlepas dari kelebihannya, sistem ini pun tetap memiliki kekurangan yang berdampak pada penerapannya. Pertama, sistem ini dianggap sulit untuk dipraktikkan karena menimbulkan masalah terkait dengan penentuan jumlah aset dan penghasilan yang dimiliki oleh wajib pajak. Kedua, penerapan tarif PPh progresif dalam sistem ini dapat dapat mendistorsi pilihan wajib pajak untuk melakukan pekerjaan yang memberikan penghasilan tinggi (Boadway, 2004).
Di sisi lain, meskipun disebut tidak lebih unggul dari sistem global taxation, sistem schedular taxation juga memiliki kelebihannya tersendiri. Pertama, sistem ini dianggap lebih mudah diterapkan bagi negara yang belum memiliki sistem administrasi yang canggih karena adanya sistem witholding tax (Stotsky, 1999).
Kedua, dapat menjaga jumlah penerimaan negara karena pengawasan atas penerimaan PPh akan lebih mudah dilakukan mengingat setiap jenis penghasilan telah dikelompokkan sesuai dengan sumber penghasilannya. Ketiga, dianggap dapat meningkatkan jumlah penerimaan negara karena dalam sistem ini terdapat perlakuan tarif PPh yang berbeda untuk setiap jenis penghasilan.
Sistem schedular taxation bukanlah sistem yang sempurna karena sistem ini juga memiliki beberapa kekurangan. Pertama, pengelompokkan penghasilan berdasarkan sumber penghasilannya dianggap menimbulkan beban administrasi bagi otoritas pajak. Kedua, adanya pembedaan pengenaan tarif PPh berdasarkan sumber penghasilan dapat digunakan oleh wajib pajak sebagai celah untuk melakukan perencanaan pajak (tax planning) (Burns dan Krever, 1998).
Penerapan di Indonesia
Setiap negara berhak untuk menentukan sistem pengenaan mana yang akan diterapkan, apakah sistem global taxation, schedular taxation, atau campuran dari kedua sistem tersebut. Sebagai contoh, Amerika Serikat dan Brazil menerapkan sistem global taxation. Sementara itu, beberapa negara di Eropa, seperti Italia, Prancis, Jerman, Spanyol, dan UK menerapkan sistem schedular taxation (Avi-Yonah, Sartori, dan Amrian, 2011). Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia sendiri menggunakan metode campuran dalam pengenaan pajaknya. Penerapan global taxation tercermin dari rumusan Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menyebutkan bahwa pengenaan pajak atas penghasilan dengan cara menjumlahkan semua jenis tambahan kemampuan ekonomis di manapun didapat, di Indonesia dan di luar negeri.
Sementara itu, penerapan schedular taxation menyebabkan penghasilan-penghasilan tertentu dikenakan tarif sendiri-sendiri berdasarkan aturan yang berlaku. Di Indonesia, penerapan sistem ini dapat dilihat pada pengenaan PPh final yang diatur dalam beberapa pasal, misalnya Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, dan Pasal 17 ayat (2c) UU PPh.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.