Bambang Pratiknyo,
PEMOTONGAN atau pemungutan pajak atau yang lebih dikenal dengan sebutan withholding tax merupakan mekanisme pemungutan pajak yang telah digunakan oleh banyak negara. Berdasarkan Mardiasmo (2016), withholding tax didefinisikan sebagai suatu mekanisme pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan otoritas pajak dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut pajak yang terutang.
Bukanlah sesuatu yang mengherankan jika withholding tax menjadi mekanisme yang diterapkan di berbagai negara. Ini mengingat adanya beberapa keuntungan yang dapat diperoleh negara dari penerapan mekanisme ini. Pertama, adanya ketepatan waktu penyetoran, kemudahan, dan kesederhanaan dalam pemungutan pajak mengingat penerimaan pajak melalui withholding tax terjadi secara otomatis. Akibatnya, biaya pemungutan pajak menjadi lebih murah. Bahkan, mekanisme ini dapat menghasilkan penghematan dalam jumlah besar (Leon Yudkin, 1971).
Kedua, penerapan withholding tax dapat memperluas jaringan pemajakan terhadap wajib pajak yang belum terjangkau oleh pemerintah (Nuryadi, 1988). Ini dikarenakan adanya kewajiban pihak pemotong untuk memotong pajak atas objek pajak yang dibayarkan kepada siapa pun dan di manapun. Meskipun terdapat kemungkinan adanya pajak yang tidak disetor oleh pihak pemotong, kemungkinan ini sangat kecil terjadi. Apalagi sanksi yang ditetapkan cukup berat dan pihak pemotong tetap mudah dijangkau oleh pemerintah.
Ketiga, penerapan withholding tax dapat memberikan kenyamanan (convenience) dalam membayar pajak. Pasalnya, pembayaran pajak dilakukan saat penghasilan diterima atau diperoleh sehingga pihak yang dipotong tidak terlalu merasa terbebani.
Selain keuntungan, penerapan withholding tax juga memberikan konsekuensi tersendiri bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Khususnya, bagi pihak yang dipotong dan pihak yang memotong.
Bagi pihak yang dipotong, withholding tax juga berpotensi menimbulkan permasalahan. Misalnya, ketika pajak yang dipotong lebih besar dari yang seharusnya sehingga menimbulkan beban cash flow dan administratif untuk pengembaliannya.
Bagi pihak yang memotong (withholding tax agent), mekanisme ini jelas menimbulkan beban administrasi tambahan. Selain harus menyetor pajak dalam jangka waktu tertentu, ada pula risiko terkena sanksi administrasi jika melakukan kelalaian atau ketidakpatuhan melaksanakan kewajiban pemotongan pajak tersebut, seperti terlambat setor atau lapor.
Menimbang berbagai aspek yang terlibat dalam penerapan withholding tax sebagaimana diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan mekanisme ini perlu diterapkan secara hati-hati dengan mempertimbangkan segala konsekuensi yang ada. Misalnya, dengan menentukan kebijkan yang tepat tentang siapa yang pihak yang wajib memotong, siapa pihak yang wajib dipotong, jenis penghasilan apa yang harus dijadikan objek pemotongan, berapa besar porsi pemotongannya, kapan pemotongan pajak harus disetor ke kas negara, serta kapan pelaporan harus dilakukan.
Di beberapa negara, jenis penghasilan yang biasanya dipilih sebagai objek withholding tax adalah penghasilan dari pekerjaan dan penghasilan lainnya yang bersifat pasif, seperti bunga, dividen, dan royalti. Jenis penghasilan dari pekerjaan adalah jenis yang paling sering dipilih dan bahkan diandalkan di banyak negara. Ini tidak mengherankan karena potensi penerimaannya sangat besar.
Lantas, bagaimana penerapan withholding tax di Indonesia?
Penerapan Withholding Tax di Indonesia
Di Indonesia, penerapan withholding tax sudah sejak lama dilaksanakan, yaitu sejak diberlakukannya Ordonansi Pajak Pendapatan 1944. Dalam ordonansi ini, withhldong tax diterapkan atas penghasilan dari pekerjaan berupa gaji atau upah.
Sementara itu, penerapan withholding tax atas penghasilan pasif mulai diberlakukan sejak awal orde baru. Yaitu, melalui Menghitung Pajak Orang (MPO) yang awalnya dikenakan atas bunga, dividen, dan royalti.
Kemudian, dalam ketentuan peraturan perundang-undangan PPh yang berlaku saat ini, penerapan withholding tax dapat ditemukan dalam berbagai pasal dalam UU PPh. Misalnya, dalam Pasal 21 UU PPh yang mengatur pemajakan atas penghasilan dari pekerjaan, seperti gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau yang dikenal dengan istilah PPh Pasal 21.
Dari sisi subjeknya, penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 mencakup orang pribadi yang merupakan tenaga ahli. Salah satunya adalah dokter. Saat ini, perhatian akan profesi dokter semakin terasa tatkala wabah virus corona atau yang disebut Covid-19 merebak di Indonesia. Di tambah lagi diketahui bahwa tidak sedikit dokter telah gugur ketika ikut serta berjuang menanggulangi wabah ini.
Perhatian ini pun meliputi berbagai macam aspek, mulai dari sosial, ekonomi, hingga aspek pemajakan atas penghasilan yang diterima dari profesi ini. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas bagaimana ketentuan withholding tax atas penghasilan dokter berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan PPh yang berlaku saat ini. Namun, pembahasan akan difokuskan pada dokter yang menerima penghasilan dari hasil praktik di rumah sakit/klinik.
Penerapan Withholding Tax atas Penghasilan Dokter di Indonesia
Ketentuan yang berlaku saat ini tentang withholding tax atas penghasilan dokter dari hasil kerja sama dengan rumah sakit/klinik diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi (selanjutnya disingkat dengan PER-16). PER-16 sendiri diketahui merupakan aturan pelaksana dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi (PMK-252).
Dalam ketentuan ini, dokter diklasifikasikan sebagai penerima penghasilan bukan pegawai sehingga basis withholding tax-nya dihitung 50% dari jumlah bruto. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf ‘c’ PER-16. Adapun yang dimaksud dengan jumlah bruto diatur dalam Pasal 10 ayat (6) PER-16, yaitu sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
Lebih lanjut, dalam Pasal 13 PER-16 diatur pula bahwa dalam penghitungan withholding tax atas penghasilan ini, dapat diterapkan pula pengurangan berupa PTKP. Syaratnya, dokter sebagai penerima penghasilan telah mempunyai NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja serta tidak memperoleh penghasilan lainnya. Sementara syarat administrasi yang harus dipenuhi untuk dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP adalah penerima penghasilan harus menyerahkan fotokopi kartu NPWP dan bagi wanita kawin harus menyerahkan fotokopi kartu NPWP suami serta fotokopi surat nikah dan kartu keluarga.
Selain mengatur tata caranya, PER-16 juga memberikan contoh penghitungannya yang dapat dilihat sebagai berikut.
Contoh kasus:
dr. Samudera Putra, Sp.OG (status Kawin = K/1) merupakan dokter spesialis kebidanan dan kandungan terkenal yang melakukan praktik di Rumah Sakit Harapan Ibu dan Anak dengan perjanjian bahwa atas setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong 20% oleh pihak rumah sakit sebagai bagian penghasilan rumah sakit. Sementara itu, sisanya sebesar 80% dari jasa dokter tersebut akan dibayarkan kepada dr. Samudera Putra, Sp.OG pada setiap akhir bulan.
Selain praktik di Rumah Sakit Harapan Ibu dan Anak, dr. Samudera Putra, Sp.OG juga melakukan praktik sendiri di klinik pribadinya. dr. Samudera Putra,Sp.OG telah memiliki NPWP dan pada tahun 2016, jasa dokter yang dibayarkan pasien dari praktik dr.Samudera Putra, Sp.OG di Rumah Sakit Harapan Ibu dan Anak dapat dilihat pada tabel berikut.
Berdasarkan tabel di atas, berikut adalah penghitungan PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan dr. Samudera Putra,Sp.OG.
Berdasarkan penghitungan di atas, jelas bahwa dasar perhitungan Pasal PPh 21 terutang atas penghasilan yang diterima dr. Samudera Putra,Sp.OG adalah 50% dari jasa dokter yang dibayar pasien tanpa dikurangi bagian penghasilan yang diterima oleh rumah sakit/klinik sebesar 20%. Jika bagian rumah sakit/klinik diperhitungkan, tentu jumlah PPh Pasal 21 terutang menjadi lebih kecil.
Penghitungan dengan cara di atas ternyata berpengaruh terhadap penghitungan PPh orang pribadi dari dokter. Apabila setelah dijumlahkan penghasilan tersebut melebihi PTKP serta besarnya PPh Pasal 21 terutang menyebabkan PPh orang pribadi yang terutang kurang bayar atau nihil, penghitungan dengan cara di atas tidak menjadi masalah bagi dokter yang bersangkutan. Namun, permasalahan akan timbul jika yang terjadi adalah sebaliknya. PPh Pasal 21 terutang ternyata menyebabkan lebih bayar. Terutama jika kasusnya terjadi karena sebab berikut:
Faktanya, persentase bagi hasil antara rumah sakit/klinik dan dokter bisa saja besar, terutama pada rumah sakit/klinik terkenal dan memiliki banyak pasien. Demikian pula dengan penggunaan NPPN oleh para dokter bukanlah hal yang langka. Sementara itu, terdapat kemungkinan pula ada dokter yang hanya melakukan praktik pada satu rumah sakit. Tidak mengherankan jika berbagai kondisi yang dapat menimbulkan permasalahan dalam penerapan withholding tax PPh Pasal 21 sangat mungkin terjadi.
Untuk lebih jelas, di bawah ini disajikan contoh kasusnya.
Contoh kasus:
dr. Fiscy seorang dokter spesialis paru pemula berpraktik di Rumah Sakit Paru dengan perjanjian kerja sama bahwa atas pembayaran jasa dokter dari pasien, sebesar 20% akan menjadi hak rumah rumah sakit. Selain dari rumah sakit tersebut, dr. Fiscy tidak menerima penghasilan lainnya dan status nikah dr. Fiscy adalah belum menikah (TK). Selama tahun 2019, penerimaan jasa dokter yang dibayar pasien dapat dilihat pada tabel di bawah.
Berdasarkan kasus di atas, penghasilan dr. Fiscy diketahui hanya dari satu pemberi kerja sehingga dapat diterapkan pengurangan berupa PTKP. Berikut penghitungan PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan dr. Fiscy.
Apabila dalam menghitung besarnya PPh orang pribadi yang terutang dr. Fiscy menggunakan NPPN, besarnya PPh orang pribadi tersebut untuk tahun 2019 dihitung dengan cara berikut.
Tabel di atas menunjukkan telah terjadi kelebihan pembayaran pajak bagi dr. Fiscy sebesar Rp7.860.000,00. Kelebihan ini disebabkan adanya ketentuan dalam PER-16 yang mengharuskan jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 21 adalah jumlah yang termasuk penghasilan untuk rumah sakit/klinik. Padahal, apabila jumlah bruto ini hanya didasarkan atas penghasilan yang dibayarkan kepada dokter, kelebihan pembayaran pajak tersebut tidak akan terjadi.
Tabel berikut memperlihatkan penghitungan PPh Pasal 21 terutang oleh dr. Fiscy apabila jumlah bruto sebagai dasar pemotongan hanya berupa penghasilan yang dibayarkan kepada dokter.
Berdasarkan Tabel 6 dan Tabel 5 di atas, dapat disimpulkan bahwa jika jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 21 atas hanya didasarkan pada penghasilan yang dibayarkan kepada dokter tanpa memperhitungkan bagian rumah sakit/klinik, jumlah PPh Pasal 21 terutang dari dr. Fiscy sama dengan jumlah PPh orang pribadi terutang setahun yang dihitung menggunakan NPPN. Dengan demikian, tidak terjadi kelebihan pembayaran pajak.
Analisis
Jika dikaji lebih jauh, ketentuan withholding tax atas penghasilan dokter yang berpraktik di rumah sakit/klinik dan berstatus bukan sebagai pegawai berdasarkan PER-16 memiliki keunikan tersendiri. Keunikan ini disebabkan penghasilan bagian rumah sakit/klinik dari jasa dokter yang dibayar pasien, yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 dokter, juga merupakan objek pajak bagi rumah sakit/klinik. Dengan demikian, atas penghasilan tersebut dipajaki dua kali, yaitu pada dokter melalui PPh Pasal 21 dan pada rumah sakit/klinik melalui PPh badan.
Tanpa mengurangi perhatian atas keunikan sebagaimana dijelaskan di atas, dasar pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan dari dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik ini juga dapat dianggap kurang sesuai dengan beberapa rumusan pasal dalam ketentuan perundang-undangan PPh.
Pertama, prinsip withholding tax yang diamanatkan oleh Pasal 20 UU PPh. Penjelasan dari pasal ini menyiratkan bahwa withholding tax merupakan bentuk angsuran pembayaran pajak dalam tahun berjalan yang jumlahnya mendekati jumlah pajak yang sebenarnya terutang pada akhir tahun. Rumusan ini menyiratkan bahwa jumlah atau besaran withholding tax atas suatu penghasilan tidak boleh jauh dari jumlah pajak yang akan terutang pada akhir tahun. Faktanya, dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang menyertakan bagi hasil oleh rumah sakit/klinik tersebut justru menyebabkan withholding tax sebagai angsuran pembayaran pajak seorang dokter dalam tahun berjalan ternyata melebihi jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
Kedua, ketentuan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang diatur dalam Pasal 5 PER-16. Dalam pasal ini disebutkan bahwa penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah imbalan kepada bukan pegawai antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan jasa yang dilakukan.
Dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik adalah tenaga ahli yang bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa. Oleh karena itu, penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dari dokter tersebut hanya sebatas imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh dokter yang bersangkutan. Namun, dasar pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik tidak mencerminkan rumusan Pasal 5 PER-16 karena dimasukkannya bagi hasil rumah sakit/klinik ke dasar pemotongan tersebut. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 tidak lagi hanya atas imbalan jasa dari dokter yang bersangkutan, tetapi juga bagian dari rumah sakit/klinik.
Jika dikaji secara historis, dasar pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan dari dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik seperti ini sudah berlangsung sejak tahun 2009. Yaitu, sejak diterbitkannya PER-31/PJ/2009 (PER-31). Sejak PER-31 tersebut berlaku, telah terjadi empat kali perubahan.
Meskipun demikian, tidak pernah terjadi perubahan atas ketentuan mengenai dasar pemotongan tersebut. Oleh karena itu, memperhatikan analisis di atas, bukankah kini saat yang tepat untuk mempertimbangkan kembali isu mengenai dasar pemotongan PPh Pasal 21 atas dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik. Pertimbangan ini makin terasa diperlukan, sekali lagi, mengingat dewasa ini peran dokter sebagai garda terdepan dalam menanggulangi wabah Covid-19 tengah menjadi sorotan.
Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan pajak yang berwenang dalam rangka merancang ketentuan perundang-undangan perpajakan yang lebih baik.