INTEGRASI Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) melalui coretax system merupakan salah satu langkah strategis dalam reformasi administrasi perpajakan.
Langkah tersebut diharapkan mampu menghadirkan sistem yang lebih sederhana, akurat, dan terintegrasi. Namun, fenomena di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak wajib pajak yang keliru memahami perbedaan antara registrasi NIK, aktivasi NIK, dan aktivasi akun wajib pajak.
Kesalahpahaman ini sering kali menimbulkan persoalan administratif. Tidak sedikit yang gagal login ke sistem, mengalami data tidak sinkron, bukti potong gagal dibuat, atau bahkan terhambat dalam melaporkan kewajiban pajak.
Kondisi tersebut menandakan perlunya pemahaman yang lebih jelas mengenai setiap tahapan agar masyarakat tidak merasa terbebani. Tanpa pengetahuan yang tepat, kemudahan yang ditawarkan sistem justru dapat berubah menjadi hambatan.
Mari kita pahami masing-masing proses tersebut.
Registrasi NIK adalah tahap awal ketika identitas kependudukan seseorang dicatat dalam sistem perpajakan. Proses ini memastikan bahwa NIK yang dimiliki seorang warga telah dikenali oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui basis data kependudukan. Namun, registrasi belum menjadikan seseorang sebagai Wajib Pajak, karena pada tahap ini belum ada hak maupun kewajiban perpajakan yang melekat.
Tahap ini dapat dianalogikan dengan dunia perbankan. Bayangkan seorang calon nasabah yang baru pertama kali datang ke bank. Petugas meminta KTP, kemudian memasukkan data pribadi ke dalam sistem.
Identitas nasabah sudah dikenal oleh sistem bank, tetapi ia belum memiliki rekening. Artinya, ia belum bisa menabung, transfer, atau melakukan transaksi. Demikian pula, registrasi NIK hanyalah pencatatan awal agar sistem perpajakan mengenali identitas, tanpa menimbulkan kewajiban pajak.
Langkah berikutnya adalah aktivasi NIK, yakni tahap di mana NIK yang sebelumnya hanya menjadi identitas kependudukan diubah statusnya menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Pada titik inilah hak dan kewajiban perpajakan mulai berlaku secara resmi.
Dengan NPWP, seseorang sah sebagai wajib pajak yang dapat melakukan berbagai aktivitas perpajakan, mulai dari pelaporan hingga pembayaran. Dengan kata lain, tidak semua orang harus melakukan aktivasi NIK, hanya orang yang membutuhkan NPWP-lah yang melakukan proses aktivasi ini.
Dalam analogi perbankan, tahap ini sama halnya dengan proses pembukaan rekening. Setelah calon nasabah mengisi formulir dan melengkapi dokumen, bank memberikan nomor rekening resmi.
Nomor tersebut menjadi identitas transaksi dan memungkinkan nasabah mulai menabung atau menarik uang. Demikian pula, aktivasi NIK membuat identitas kependudukan berubah status menjadi NPWP, sehingga seseorang sah memasuki dunia perpajakan.
Memiliki NPWP saja belum cukup. Agar dapat menggunakan layanan perpajakan secara daring, wajib pajak perlu melakukan aktivasi akun di sistem coretax. Aktivasi ini memberikan hak akses login, sehingga wajib pajak dapat membuat kode billing, melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT), atau memantau kewajiban perpajakan secara daring. Tanpa aktivasi akun, akses ke layanan digital tetap tertutup meskipun identitas sudah berstatus NPWP.
Analogi perbankan kembali relevan di sini. Memiliki nomor rekening saja tentu merepotkan jika setiap kali ingin mengecek saldo atau melakukan transfer, nasabah harus datang langsung ke kantor cabang.
Karena itu, bank menyediakan layanan mobile banking atau kartu ATM untuk mempermudah transaksi. Demikian halnya, aktivasi akun coretax berfungsi seperti mobile banking: ia memudahkan akses, mempercepat layanan, dan memungkinkan wajib pajak mengelola kewajiban kapan saja tanpa harus hadir secara fisik di kantor pajak.
Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa registrasi NIK otomatis menimbulkan kewajiban perpajakan. Anggapan tersebut keliru. Registrasi hanya sebatas pencatatan data agar sistem mengenali identitas.
Kewajiban baru muncul setelah NIK diaktivasi menjadi NPWP. Perlu diingat, aktivasi akun adalah tahap tambahan yang memungkinkan wajib pajak memanfaatkan fasilitas digital DJP.
Kesalahpahaman tersebut harus diluruskan agar masyarakat tidak khawatir. Pemerintah melalui DJP justru berupaya menyederhanakan administrasi dengan mengintegrasikan identitas kependudukan dan perpajakan ke dalam satu nomor, yakni NIK. Dengan begitu, masyarakat tidak lagi harus mengingat banyak identitas untuk berbagai keperluan.
Integrasi NIK dengan NPWP merupakan bagian dari transformasi digital perpajakan yang lebih luas. Kebijakan ini tidak dimaksudkan untuk menambah beban, melainkan untuk menghadirkan sistem yang lebih rapi, efisien, dan transparan. Dengan hanya menggunakan satu nomor, masyarakat dapat mengakses berbagai layanan administrasi secara lebih praktis.
Melalui coretax system, DJP berharap seluruh layanan perpajakan dapat diakses secara lebih sederhana, cepat, dan terintegrasi. Transformasi ini pada akhirnya akan membawa administrasi perpajakan Indonesia lebih dekat dengan standar modern yang diharapkan masyarakat.
Dengan pemahaman yang benar, masyarakat tidak hanya terhindar dari kebingungan administratif, tetapi juga dapat merasakan manfaat nyata dari transformasi digital perpajakan. Integrasi NIK dengan NPWP seharusnya dipandang sebagai langkah menuju administrasi yang lebih sederhana dan modern, bukan sebagai tambahan beban.
Pada akhirnya, keberhasilan reformasi perpajakan bergantung pada dua hal: kesiapan sistem dan kesediaan masyarakat untuk memahami serta beradaptasi. (sap)