AUDI alteram partem, dengarkan sisi yang lain. Ini istilah yang datang dari peradaban Yunani Kuno sekitar 2.500 tahun silam. Maksudnya, tidak seorang pun bisa divonis tanpa terlebih dahulu didengar pembelaannya. Prinsip ini lalu menjadi salah satu asas hukum yang dipakai luas sampai sekarang.
Dalam sistem hukum Common Law atau Anglo-Saxon yang diterapkan Inggris dan mayoritas negara jajahannya termasuk Amerika Serikat, asas audi alteram partem adalah salah satu istilah teknis yang berfungsi untuk mencegah bias putusan, bersandingan dengan asas nemo iudex in causa sua.[1]
Begitu pula dalam tradisi Civic Law atau Eropa Kontinental. Sejak abad pertengahan, asas audi alteram partem sudah diterjemahkan ke dalam praktik hukum acara pidana. Karena itu, jika di persidangan ada pihak yang memberi atau mengajukan alat bukti, hakim harus memastikan pihak yang lain dapat mengetahui alat bukti tersebut.
Dengan rambu keadilan yang sudah berumur tua itu, menyelenggarakan suatu peradilan pidana tanpa menghadirkan terdakwa jelas rentan memicu perdebatan tersendiri. Perlu tidaknya peradilan seperti itu sangat tergantung pada bagaimana konsensus nasional di wilayah hukum bersangkutan dibangun.
Amerika Serikat misalnya, perlu waktu lebih dari 100 tahun sebelum mengizinkan praktik peradilan in absentia, itu pun dengan syarat ketat. Beberapa negara penganut Common Law lain sampai sekarang masih bertahan dengan sikap, bahwa peradilan in absentia melanggar asas audi alteram partem.
Di Eropa yang mayoritas Civic Law juga tidak ada kesepakatan mengikat. Memang ada kesepakatan regional, tetapi praktiknya berbeda. Ada negara yang mengizinkan, ada yang belum membolehkan. Negara lain seperti Italia menerapkan syarat tambahan berupa hadirnya kuasa hukum terdakwa.[2]
Kasus di Indonesia
SEPERTI biasa, kasus di Indonesia selalu menarik. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merupakan induk sekaligus rujukan hukum acara pidana di Indonesia secara jelas tidak mengakui adanya peradilan in absentia, kecuali untuk perkara pelanggaran lalu lintas.[3]
Sementara itu, di ranah perdata, peradilan in absentia sudah diatur Pasal 125 Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Adapun, perkara tata usaha negara diatur Pasal 72 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009.[4]
Padahal, peluang diselenggarakannya peradilan in absentia khususnya untuk tindak pidana ekonomi sebelumnya sudah dibuka, yaitu melalui Pasal 16 UU Darurat Republik Indonesia No. 7 Tahun 1955 (UU No. 1 Tahun 1961) tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.[5]
Di sisi lain, Pasal 16 UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juga telah membuka pintu diselenggarakannya peradilan in absentia. Meski dalam perkembangannya muncul batasan melalui UU No.4 Tahun 2004 dan UU No.48 Tahun 2009.[6]
Dasar Hukum Peradilan In Absentia di Indonesia | |
DASAR HUKUM | PERKARA |
UU No. 1 Tahun 1961 | Pidana ekonomi |
UU No. 8 Tahun 1981 | Pelanggaran lalu lintas |
UU No. 31 Tahun 1997 | Pidana desersi (militer) |
UU No. 31 Tahun 1999 | Pidana korupsi |
UU No. 31 Tahun 2004 | Pidana perikanan |
UU No. 8 Tahun 2010 | Pidana pencucian uang |
Berbagai sumber, diolah DDTCNews, 2016
Konsensus perlunya praktik peradilan in absentia praktis baru meluas setelah gelombang reformasi pasang pada 1998. Kerusakan ekonomi yang terjadi pada waktu itu sekaligus menghadirkan perspektif pentingnya mencegah kejahatan korupsi yang mempunyai dampak luar biasa terhadap ekonomi.
Dengan perspektif itu, korupsi pun dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, yang karenanya perlu penanganan di luar cara-cara biasa. Dalam suasana batin seperti inilah lahir UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang memberi dasar hukum peradilan in absentia.[7]
Masih dalam suasana batin itu pula, sesuai TAP MPR RI No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dasar hukum peradilan in absentia diperkuat kembali melalui UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.[8]
Ke Luar Ranah Korupsi
DALAM perkembangan selanjutnya, penerapan peradilan in absentia juga meluas ke luar ranah tindak pidana korupsi. Terobosan hukum ini pertama kali muncul melalui Pasal 79 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 45 Tahun 2009.[9]
Dan kini, terobosan tersebut dilanjutkan dengan rencana diadakannya peradilan in absentia untuk ranah tindak pindana perpajakan, yaitu melalui Pasal 103 draf revisi UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.[10]
Kalau dibandingkan, bunyi Pasal 103 draf RUU KUP ini nyaris tidak berbeda dengan Pasal 79 UU No. 8 Tahun 2010.[11] Persamaan ini mungkin akan dilihat sebagai kewajaran belaka, selain karena memang keduanya diterapkan antara lain untuk mengantisipasi terdakwa yang licin dan pintar melarikan diri.
Akan tetapi, apabila dilihat secara lebih cermat, kedua UU tersebut juga sama-sama memberikan kewenangan kepada penyidik untuk menahan tersangka sekalgus menyita dan merampas harta atau kekayaan milik tersangka. Lebih dari itu, keduanya juga sama mengatur tentang pidana untuk korporasi (badan).[12]
Dengan kata lain, peradilan in absentia ini tidak berdiri sendiri. Ia, bersama kewenangan menyita harta tersangka dan pidana badan, adalah instrumen yang digunakan untuk memastikan pulihnya kerugian keuangan negara, yang dalam konteks ini, kerugian negara di bidang perpajakan.
Kewenangan menyita harta tersangka, baik milik perseorangan maupun badan, adalah jaminan untuk melunasi kerugian keuangan negara atas perbuatan yang sangkakan. Adapun, peradilan in absentia adalah jaminan bahwa hakim tetap dapat memutus perkara sekalipun terdakwa melarikan diri.
Dengan demikian, jika terdakwa diputus bersalah dan terdapat kerugian keuangan negara, maka harta yang telah disita dalam proses penyidikan sebelumnya dapat segera dieksekusi untuk melunasi utang pajak, sanksi pidana denda, serta biaya lain yang timbul akibat pengurusan barang sitaaan.
Di sinilah mulai terlihat bangun relasi antara ketiga pokok tersebut. Masing-masing, baik kewenangan menyita, pidana badan, maupun peradilan in absentia, adalah pokok yang tidak berdiri sendiri. Peran ketiganya saling terkait, yang dalam konteks ini, untuk memulihkan kerugian keuangan negara.[13]
Lalu, apakah setelah UU KUP nanti disahkan kita akan melihat rangkaian parade penyitaan aset oleh penyidik pajak seperti yang biasa terlihat saat penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi memutuskan untuk memakai UU No. 8 Tahun 2010 dalam menjerat tersangkanya? Waktu yang akan menjawab. (*)
[1] Arti kalimat ini kurang lebih: ‘Tak seorang pun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri.’ Prinsip ini secara sederhana mengandung arti bahwa hakim tidak boleh mengadili perkara yang menyangkut diri dan kepentingannya sendiri. Di Indonesia, pro kontra mengenai prinsip ini pernah muncul tatkala hakim Mahkamah Konsitusi (MK), atas dasar prinsip ius curia novit yang melarang hakim menolak perkara, sengaja mengesampingkan prinsip nemo iudex in causa sua dalam memutus perkara-perkara yang menyangkut MK.
[2] Lihat. Untuk sejarah peradilan in absentia, lihat lebih lengkap di Trial in Absentia, Starkey, James G. (2012) St. John's Law Review: Vol. 53: Iss. 4, Article 2.
[3] Pasal 196 ayat (1) KUHAP dengan jelas menyebutkan: “Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain.” Perkecualian tersebut selanjutnya diatur di Pasal 213 dan 2014 (perkara pelanggaran lalu lintas). Empat tahun setelah UU itu terbit, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran No. 9 Tahun 1985 tentang Putusan yang Diucapkan di Luar Hadirnya Terdakwa. Dalam surat tersebut MA berpendapat “Perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat, baik perkara tindak pidana ringan maupun perkara pelanggaran lalu lintas, dapat diputus di luar hadirnya terdakwa (verstek) dan Pasal 214 KUHAP berlaku bagi semua perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat.”
[4] Penjelasan kenapa KUHAP tidak mengatur secara jelas peradilan in absentia antara lain diuraikan dalam buku Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar (Sofyan, Andi, 2012). Kehadiran KUHAP dimaksudkan oleh pembuat undang-undang untuk ‘mengoreksi’ pengalaman praktik peradilan masa lalu yang tidak sejalan dengan penegakan hak asasi manusia di bawah aturan HIR, sekaligus memberi legalisasi hak asasi pada tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya dalam proses hukum. Karena itu, KUHAP mengangkat dan menempatkan tersangka atau terdakwa dalam kedudukan yang ‘berderajat’, sebagai makhluk Tuhan yang memiliki harkat derajat kemanusiaan yang utuh, yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai luhur kemanusiaan. Untuk itu, KUHAP menggariskan aturan yang melekatkan integritas harkat harga diri kepada tersangka atau terdakwa, dengan jalan memberi perisai hak-hak yang sah kepada mereka. Pengakuan hukum yang tegas akan hak asasi yang melekat itu merupakan jaminan yang menghindari mereka dari perlakuan sewenang-wenang. Buku lain yang dapat dijadikan referensi adalah Peradilan In Absentia di Indonesia (Prakoso, Djoko, 1984) dan Sidang Tanpa Terdakwa; Dilema Peradilan In Absentia dan Hak Asasi Manusia (Prihartono, Dwiyanto, 2003).
[5] Uraian lebih lanjut tentang ini dapat dibaca di buku Hukum Pidana Ekonomi (Hamzah, A. 1977)
[6] Pasal 16 UU No.14 Tahun 1970 selengkapnya berbunyi: “Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya tertuduh, kecuali apabila Undang-undang menentukan lain.” Pada bagian Penjelasan dinyatakan “Cukup jelas”. Adapun, Pasal 18 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 dan Pasal 12 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi sama: “Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain.” Namun, pada bagian Penjelasan dinyatakan “Ketentuan ayat (1) berlaku bagi pengadilan tingkat pertama.” Bagian Penjelasan inilah yang membatasi wilayah peradilan in absentia.
[7] Dasar hukum itu ada pada Pasal 38, khususnya Pasal 38 (ayat) 1 yang selengkapnya berbunyi: “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.” Pasal ini tidak terdapat dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dicabut seiring dengan berlakunya UU No.31 Tahun 1999. Bunyi Pasal 38 yang terdiri atas 7 ayat itu tetap dipertahankan dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[8] Dasar hukum peradilan in absentia dalam UU ini diatur Pasal 36 ayat (1) yang selengkapnya berbunyi: “Dalam hal terdakwa telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak hadir, Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.” Pasal ini masih dipertahankan pada UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002. Baru pada UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU yang sekaligus mencabut UU No. 25 Tahun 2003, dasar hukum peradilan in absentia dibuat lebih sistematis, sekaligus lebih kuat. Pasal 79 ayat (1) UU ini dengan lugas menyatakan: “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.”
[9] Pasal ini dengan lugas menyatakan: “Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.” Ketentuan mengenai peradilan in absentia terkait dengan tindak pidana di bidang perikanan dalam UU ini juga diperkuat oleh Surat Edaran MA No. 03 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU No. 31 Tahun 2004, pada angka 3 (tiga), yang menyebutkan: “Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 79 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah dalam pengertian perkara in absentia, yaitu terdakwa sejak sidang pertama tidak pernah hadir di persidangan.”
[10] Dalam draf RUU KUP, peradilan in absentia diatur Pasal 103 yang selengkapnya berbunyi, Ayat (1): “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya;” Ayat (2): “Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang;” Ayat (3): “Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah, atau diberitahukan kepada kuasa hukumnya;” Ayat (4): “Terdakwa atau kuasa hukumnya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
[11] Pasal 79 UU No. 8 Tahun 2010 selengkapnya berbunyi, Ayat (1): “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.” Ayat (2): ”Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, terdakwa wajib diperiksa dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.” Ayat (3): “Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.” Ayat (4): “Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas tuntutan penuntut umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita.” Ayat (5): “Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dimohonkan upaya hukum.” Ayat (6): “Setiap Orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3).”
[12] Pasal pidana korporasi (badan) di UU No. 8 Tahun 2010 diatur antara lain di Pasal 6 dan 7, sementara pasal pidana badan (korporasi) di draf RUU KUP diatur di Pasal 118, 119, dan 120.
[13] Pasal 2 huruf v UU No. 8 Tahun 2010 menyebutkan harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana di bidang perpajakan adalah (salah satu) sumber tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang (money laundring).