MODEL bisnis perusahaan bersifat dinamis, begitu juga dengan desain sistem kebijakan perpajakan di masing-masing negara. Dengan perubahan model bisnis yang lebih modern, kerangka sistem perpajakan tentunya selalu mengikuti dan menyesuaikan.
Sebagai akibat dari perubahan bisnis dan kecepatan perkembangannya, fungsi pajak beroperasi dalam lingkungan yang makin tidak pasti. Perusahaan mungkin juga memiliki tantangan yang lebih besar dalam mengelola risiko dan peluang pajak.
Sistem perpajakan yang kompleks juga menjadi salah satu pendorong bagi perusahaan untuk memperbaiki tata kelola melalui peningkatan manajemen perpajakan. Kompleksitas itu membuat wajib pajak merasa sulit untuk mengoperasikan sistem pengendalian pajak internal.
Di satu sisi, hal tersebut dapat mengarah pada perilaku ketidakpatuhan, seperti memenuhi ketentuan formal kewajiban perpajakan secara tidak tepat waktu dan tidak lengkap atau memberi data yang tidak akurat. Di sisi lain, ada risiko peningkatan biaya kepatuhan yang akan memengaruhi pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya.
Padahal, mayoritas otoritas terus bergantung pada kerja sama sukarela dengan wajib pajak. Tujuannya agar wajib pajak menyampaikan informasi lengkap untuk menetapkan pajak terutang, menyampaikan surat pemberitahuan dengan benar, dan membayar pajak terutang tepat waktu. Di sinilah sistem manajemen kepatuhan pajak (tax compliance management system/TCMS) berperan.
Adapun dasar pemikiran tentang tata kelola internal dan sistem pengendalian perusahaan menjadi landasan untuk membangun TCMS. Dengan kata lain, TCMS merupakan pengendalian internal atas semua proses dan transaksi dengan kemungkinan konsekuensi perpajakan.
Berdasarkan pada studi komparasi di Austria, TCMS berisikan beberapa elemen, antara lain control environment, objective, assessment of tax risks, management and control, information and communication, sanction and prevention, serta monitoring and improvement.
Dengan pengelolaan internal kontrol pajak yang tersusun rapi, perusahaan dapat memetakan manajemen risiko dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip tata kelola pajak yang baik (good tax governance). Di atas segalanya, tujuan akhir dari TCMS adalah membangun fungsi pajak dalam organisasi yang efektif, efisien, dan transparan.
Beberapa manfaat yang diperoleh wajib pajak dengan memiliki TCMS antara lain dapat memenuhi persyaratan utama untuk bergabung di co-operative compliance program serta bergabung di Authorised Economic Operator (AEO) bagi wajib pajak di Uni Eropa.
Kemudian, manfaat untuk meminimalkan data terlewat dan informasi yang harus dikirimkan secara otomatis di bawah Mandatory Disclosure Rules (MDR). Selain itu, ada manfaat yang diperoleh secara tidak langsung di luar ranah pajak jika terjadi dugaan tindak pidana.
Paradigma Penilaian Kepatuhan Pajak di Indonesia
WAJIB pajak yang bertindak secara transparan harus memperoleh kepastian lebih besar, penyelesaian masalah pajak lebih cepat, serta audit kurang ekstensif dan biaya kepatuhan lebih rendah. Namun, pengelolaan risiko kepatuhan pajak sangat penting dari perspektif wajib pajak. Oleh karena itu, penilaian yang tepat diperlukan karena dapat meningkatkan kepatuhan.
Pemetaan kepatuhan perilaku wajib pajak, yaitu melakukan penilaian wajib pajak berdasarkan pada profil risiko, telah diperkenalkan dalam kerangka manajemen risiko kepatuhan (Compliance Risk Management/CRM) oleh OECD.
Penerapan CRM diharapkan dapat membantu otoritas pajak untuk melayani wajib pajak secara lebih adil dan transparan, sehingga dapat mewujudkan paradigma kepatuhan baru. Di Indonesia, CRM sedang dikembangkan.
Sebelum pengembangan CRM, Indonesia secara khusus telah menerapkan audit berbasis risiko setidaknya sejak 2003. Selain itu, sistem pengendalian pajak internal perusahaan tercermin dalam perkembangan undang-undang audit di Indonesia sebagai dasar untuk peninjauan dan sumber data utama dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak. Simak ‘Menimbang Pemeriksaan Pajak Berbasis Risiko’.
Dalam hal ini, pemeriksaan terhadap sistem pengendalian pajak internal bukanlah hal baru di Indonesia. DJP pada prinsipnya harus memulai dengan pemeriksaan sistem pengendalian internal wajib pajak sebelum melakukan proses pemeriksaan umum, meskipun ketentuan prosedur penilaian pengendalian internal itu sendiri belum diatur lebih lanjut.
Konsekuensinya, wajib pajak juga harus mempersiapkan TCMS mereka. Jika data sistem pengendalian pajak eksternal dan internal dapat diintegrasikan untuk audit berbasis risiko, kualitas penilaian pajak akan lebih baik. Hak wajib pajak untuk menerima perlakuan pajak yang adil atau lebih baik dapat terwujud. Manajemen risiko dikatakan menjadi fokus fungsi pajak di masa depan untuk TCMS.
Transformasi fungsi perpajakan dengan TCMS merupakan salah satu cara untuk mencapai keadilan prosedural yang mengacu pada cara otoritas pajak memperlakukan wajib pajak. Memang tidak mudah meyakinkan wajib pajak untuk membangun TCMS dan menjalin hubungan yang baik dengan berbasis kepercayaan terhadap otoritas pajak.
Hal tersebut mengingat kompleksitas perilaku manusia. Upaya tersebut membutuhkan waktu yang lama. Namun, bukan tidak mungkin mengubah budaya perilaku wajib pajak dan perantara pajak untuk bekerja sama dengan otoritas pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
Pada akhirnya, TCMS seharusnya tidak terbatas pada perpajakan dan berguna untuk lebih dari sekadar menyimpulkan perjanjian kepatuhan. Dalam contoh pengawasan horizontal di Belanda, perusahaan yang tidak memiliki perjanjian kepatuhan akan mendapat manfaat dari penerapan TCMS.
Hal tersebut bukan karena rekomendasi dari otoritas pajak, melainkan karena mereka sendiri percaya bahwa pengendalian risiko pajak sangat penting untuk operasi bisnis yang baik.