TINGGINYA sengketa pajak masih menjadi permasalahan yang dihadapi berbagai negara di dunia. Hal tersebut berpotensi terus terjadi di tengah banyaknya perubahan kebijakan pajak, baik secara global maupun domestik.
Berbagai perubahan tersebut membutuhkan waktu penyesuaian, pemahaman, dan sosialisasi. Akibatnya, kondisi ini menyebabkan perbedaan interpretasi atas suatu aturan.
Permasalahan tersebut menjadi makin rumit ketika terjadi penumpukan kasus di Pengadilan Pajak. Sebab, penumpukan sengketa pajak berpotensi memberikan ketidakpastian hukum, baik bagi wajib pajak maupun otoritas pajak.
Selain itu, sengketa pajak yang terjadi terus-menerus dapat menimbulkan risiko sistem peradilan yang berjalan tidak efektif, akses terhadap keadilan sangat berkurang, dan potensi melemahnya supremasi hukum (Susskind, 2020).
Suatu sengketa pajak tersebut terjadi bukan tanpa alasan yang tidak jelas. Lantas, apakah penyebab terjadinya sengketa pajak dan bagaimana cara untuk mencegahnya? Berikut penelusuran mengenai penyebab sengketa pajak dan upaya yang dapat dilakukan.
PADA umumnya, sengketa pajak terjadi ketika pelaksanaan pemungutan pajak tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang kemudian memicu perbedaan perhitungan pajak atau perbedaan interpretasi aturan antara wajib pajak dan otoritas pajak (Butani, 2016).
Perbedaan pemahaman suatu peraturan tersebut biasanya terjadi ketika adanya peraturan yang belum pasti, masih dalam grey area, atau aturan yang multitafsir.
Dengan tidak adanya pedoman peraturan yang jelas dan masih dalam grey area, otoritas pajak sering kali melakukan diskresi untuk menentukan tindakan hukum atas suatu kasus pajak yang dihadapi. Di satu sisi, diskresi memang memberikan kepastian hukum untuk kasus yang dihadapi saat itu. Di sisi lain, diskresi juga dapat menyebabkan perbedaan perlakuan hukum kepada wajib pajak.
Sementara itu, ketika peraturan bersifat multitafsir, situasi yang paling sering terjadi adalah pembayar pajak dan otoritas pajak akan memiliki posisi yang berbeda dalam penerapan ketentuan.
Tidak diragukan lagi, kedua belah pihak akan mempertahankan posisinya masing-masing. Ketika kondisi ini berlanjut dan tidak menemukan kesepakatan serta pemahaman yang sama maka permasalahan tersebut akan diselesaikan melalui Pengadilan Pajak.
Lebih lanjut, sengketa pajak cenderung terjadi ketika proses pembuatan kebijakan pajak tidak partisipatif (Butani, 2016). Permasalahan tersebut misalnya terjadi di India. Pasalnya, pembentukan peraturan pajak di India cenderung bersifat straightforward dari pihak legislatif. Tindakan tersebut pada akhirnya berdampak pada kerumitan dalam pelaksanakan regulasi yang telah dibuat.
MERESPONS permasalahan dan penumpukan sengketa yang terjadi di suatu negara, perlu ada upaya strategis ataupun suatu skema pencegahan secara efektif dan efisien. Secara garis besar, terdapat lima upaya strategis yang dapat diimplementasikan.
Pertama, perumusan produk hukum yang berkualitas. Pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tentunya harus pasti, jelas, dan tidak multitafsir. Perubahan aturan pajak mulanya harus berfokus pada muatan materi peraturan yang berada dalam grey area.
Agar dapat membentuk peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan, perlu melibatkan para pemangku kepentingan (Gordon dan Thuronyi, 1998).
Keterlibatan atau representasi masyarakat sebagai pihak ‘eksternal’ dalam proses perumusan kebijakan pajak merupakan hal yang krusial dan semakin menjadi tuntutan (Wales dan Wales, 2012). Selain itu, sinergi antarinstansi yang berkepentingan juga diperlukan.
Kedua, simplifikasi pajak. Pada prinsipnya, simplifikasi pajak harus diletakkan dalam perspektif gambaran besar dari tujuan diadakannya suatu sistem atau kebijakan pajak itu sendiri (Fleming, 2015). Adapun simplifikasi pajak yang dilakukan harus dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan pajak (Tran-Nam, 2016).
Simplifikasi pajak dapat dilakukan terhadap empat aspek, antara lain kebijakan pajak, aturan pajak, administrasi pajak, dan mekanisme kepatuhan atau interaksi antara wajib pajak, pemungut pajak, serta otoritas pajak (Evans dan Tran-Nam, 2010).
Ketiga, penerapan compliance risk management (CRM). Kerangka CRM merupakan pendekatan yang sistematis untuk mengelola kepatuhan wajib pajak. Dalam konteks upaya pencegahan dan penyelesaian sengketa pajak, penerapan CRM dapat dimanfaatkan untuk memetakan tingkat risiko dan sifat perilaku yang mendasarinya (Chooi, 2004).
Dengan mengetahui profil risiko wajib pajak, otoritas pajak lebih mudah menentukan strategi untuk melakukan pencegahan agar ketidakpatuhan dapat diminimalkan. Ketika perilaku ketidakpatuhan berkurang, jumlah sengketa pajak juga berpotensi menurun.
Keempat, penerapan advance ruling. Adapun advance ruling adalah suatu prosedur yang dilakukan wajib pajak untuk memperoleh konfirmasi tertulis dari otoritas pajak sebelum melakukan transaksi-transaksi khusus. Konfirmasi itu terkait dengan konsekuensi pajak yang akan timbul dalam pelaksanaan transaksi tersebut (Larking, 2005).
Dalam implementasinya, otoritas pajak memberikan fasilitas berupa konsultasi kepada wajib pajak seputar aspek perpajakan yang timbul atas transaksi yang akan dilakukan wajib pajak (OECD, 2013). Dengan kata lain, advance ruling digunakan untuk memberikan early certainty kepada wajib pajak.
Kelima, pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi tidak terbatas pada tujuan optimalisasi penerimaan pajak saja, tetapi juga ditekankan untuk membantu menciptakan proses administrasi yang sederhana dan pelayanan terhadap wajib pajak yang lebih baik (Blume, dan Bott, 2015).
Pemanfaatan teknologi informasi yang dilakukan dengan mengintegrasikan sistem perpajakan dan memanfaatkan kecerdasan buatan dapat menjadi alat untuk pencegahan sekaligus penyelesaian sengketa pajak. Dalam penggunaan teknologi informasi, wajib pajak akan terbagi dalam beberapa kriteria berbasis risiko.
Topik mengenai penyebab sengketa pajak dan solusi alternatifnya merupakan salah satu bahasan dalam buku Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Buku setebal 629 halaman ini disusun oleh para periset DDTC Fiscal Research and Advisory (FRA).
Buku tersebut disunting langsung oleh Managing Partner DDTC Darussalam, Senior Partner DDTC Danny Septriadi, serta Partner of Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji. Tertarik membaca buku ini? Silakan membacanya di Perpajakan ID atau kunjungi langsung DDTC Library!