PENERAPAN alternative minimum tax (AMT) kembali dipertimbangkan pemerintah di tengah upaya pengembalian defisit anggaran menjadi kurang dari 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2023.
Sebagaimana diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pendekatan tersebut dibutuhkan untuk mengamankan kepatuhan wajib pajak yang menjadi bagian dalam reformasi perpajakan.
Rencana pengenaan AMT ini sejatinya juga sempat muncul pada 2016. Rencana ini muncul setelah maraknya wajib pajak badan yang mengaku rugi fiskal selama bertahun-tahun, tapi bisnisnya tetap berjalan. Sebagaimana diutarakan Silva (2016), AMT memang dapat menjadi kebijakan yang dipertimbangkan untuk meningkatkan penerimaan pajak.
Perlu diketahui, AMT tidak bersifat menguji atau menelusuri secara detail transaksi-transaksi yang ditenggarai memiliki risiko perencanaan pajak yang agresif. AMT justru berperan dalam menjamin setiap korporasi setidaknya membayar ‘suatu nilai minimum pajak’ kepada negara atau sebagai safeguard (IMF, 2014).
Peran AMT
LANTAS, bagaimana AMT dapat berperan mengatasi praktik penghindaran pajak? Secara prinsip, AMT sejatinya memang bukan untuk ditujukan secara langsung untuk mencegah rencana penghindaran pajak, melainkan mengurangi atau mengeliminasi hasil dari tindakan tersebut (tax saving) dengan penetapan nilai pajak terutang alternatif (Moran, 1990). Dengan kata lain, kalaupun ada tax saving yang diperoleh dari perencanaan pajak yang agresif, AMT akan tetap menjamin adanya kontribusi minimum dari wajib pajak.
AMT juga tidak bersifat opsional, tetapi berjalan paralel dengan rezim PPh yang berlaku. Nilai pajak terutang wajib pajak badan akan tetap dihitung baik dengan menggunakan rezim PPh badan normal maupun AMT.
Jika nilai pajak terutang dari rezim normal PPh badan lebih tinggi dari hasil perhitungan rezim AMT, otoritas pajak menggunakan nilai pajak terutang dari rezim normal. Hal ini pun berlaku sebaliknya. Selengkapnya dapat disimak pada Kamus ‘Apa itu Alternative Minimum Tax?’.
Bentuk penerapan AMT dapat dibagi menjadi dua. Pertama, menggunakan indikator alternatif di luar penghasilan kena pajak yang umumnya dipergunakan sebagai basis pajak. Indikator alternatif yang digunakan sebagai approximation umumnya dipilih sebagai basis yang tidak mudah dimanipulasi dan mudah dimonitor (Slemrod dan Yitzhaki, 1996).
Salah satu contoh yang kerap digunakan dalam pendekatan ini adalah penggunaan omzet perusahaan sebagai basis pajak. Pertimbangan faktor lainnya, seperti aset, juga dapat dipertimbangkan.
Kedua, melalui rekonstruksi perhitungan penghasilan kena pajak (reconstruction of income). Dalam cara ini, indikator yang digunakan dan perhitungan basis pajak berdasarkan pada penyesuaian berbagai fasilitas dan biaya pengurang penghasilan yang rentan dimanfaatkan dalam perencanaan pajak yang agresif. Kanada merupakan negara yang menggunakan metode ini.
Hingga saat ini, berbagai negara telah menerapkan AMT dalam sistem pajak mereka, mulai dari Selandia Baru, Afrika Selatan, Belgia, Argentina, India, Pakistan, hingga Tanzania. Singkatnya, penerapan AMT tersebar di berbagai kawasan dan kelompok pendapatan per kapita.
Bagaimanapun, prospek penerapan AMT di Indonesia bisa dijustifikasi. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya wajib pajak badan yang mengalami kerugian selama bertahun-tahun tapi masih terus beroperasi secara komersial.
Poin Pertimbangan
PEMERINTAH perlu menentukan beberapa komponen berikut agar desain AMT dapat mencapai tujuan tanpa mencederai kepercayaan wajib pajak.
Pertama, penentuan kriteria subjek pajak. Mengingat penerapannya akan menimbulkan biaya kepatuhan baru (Burman et al, 2003), ada baiknya jika AMT diterapkan bagi wajib pajak badan dengan batasan dan/atau kriteria tertentu.
Batasan tersebut bisa ditinjau dari segi aset, omzet, dan/atau umur perusahaan. Dengan demikian, efektivitas AMT dapat tepat sasaran, sejalan dengan potensi pajak yang dapat dioptimalkan, serta efisien.
Kedua, desain perhitungan AMT, apakah menggunakan pendekatan alternatif basis pajak atau menggunakan reconstruction of income. Jika menggunakan pendekatan pertama maka aspek selanjutnya yang perlu dipertimbangkan adalah besaran tarifnya.
Sementara pada pendekatan kedua, diperlukan analisis mendalam terhadap komponen pengurang dan perhitungan alternatifnya serta simplifikasi peraturannya. Rekonstruksi yang terlalu rumit justru dapat mendistorsi perilaku ekonomi wajib pajak (Lipman et al, 2004).
Ketiga, kepastian bagi wajib pajak untuk tetap dapat memanfaatkan insentif pajak meskipun berakibat pada lebih rendahnya pajak terutang dibandingkan dengan cara perhitungan AMT.
Tanpa adanya kejelasan tersebut, setiap insentif pajak yang sudah ditawarkan pemerintah menjadi sia-sia dan sulit mendorong produktivitas ekonomi maupun investasi (Zolt, 2017). Hal ini serupa dengan situasi yang diungkapkan Viard (2006), yakni penerapan AMT secara agresif justru dapat menciptakan distorsi ekonomi.
Pada intinya, perlu dipertimbangkan pro dan kontra dari segi potensi penerimaan pajak yang dapat diperoleh, kemudahan administrasi, dan kaitannya dengan ketentuan antipenghindaran pajak lainnya.
Dapat disimpulkan, AMT merupakan langkah tepat dan perlu didukung dengan desain yang tepat sasaran. Ketiga komponen yang sudah disebutkan di atas sangat penting dipertimbangkan sehingga tujuan dari diadakannya AMT tidak kontradiktif dengan aspek kesederhanaan, keadilan, dan ekonomi.