PEMBIAYAAN sesuai prinsip syariah (Islamic finance) berkembang signifikan secara global. Pada tahun 2015, aset keuangan syariah yang dikelola oleh lembaga keuangan di seluruh dunia mencapai USD 2 triliun. Bahkan, untuk tahun 2020 jumlahnya diperkirakan akan mencapai USD 6,7 triliun. Tulisan selengkapnya dapat dibaca di sini.
Tercatat besarnya partisipasi aset perbankan di negara-negara seperti Qatar, Indonesia, Arab Saudi, Malaysia, Uni Emirat Arab, dan Turki telah melampaui USD 801 miliar (Zahid Mahmood, 2018). Di Indonesia sendiri, pada Juni 2019 besarnya total aset keuangan syariah (tidak termasuk saham syariah) telah mencapai Rp 1.335,41 triliun atau setara dengan USD 94,44 miliar (https://www.ojk.go.id/).
Pasar modal syariah Indonesia telah memiliki beragam bentuk produk keuangan. Salah satunya adalah efek beragun aset syariah (EBAS) yang diatur melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.04/2015 (POJK 20/2015).
Melalui beleid tersebut terdapat pengaturan dua bentuk EBAS. Pertama, Kontrak Investasi Kolektif (KIK) EBAS. Kedua, EBAS berbentuk Surat Partisipasi (EBAS-SP). Namun demikian, yang menjadi fokus artikel ini adalah terkait KIK EBAS.
Implikasi Pajak atas KIK EBAS
KIK EBAS merupakan efek beragun aset yang cara pengelolaannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah di pasar modal. Pengelolaan KIK EBAS diatur melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)-Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 125/DSN-MUI/XI/2018 (DSN-MUI 125/2018).
Sama seperti KIK EBA konvensional, analisis pajak dan alur transaksi atas KIK EBA konvensional dapat dibaca di sini. Manajer investasi dan bank kustodian sepakat membentuk KIK-EBAS. Menurut DSN-MUI 125/2018, KIK dalam KIK-EBAS berstatus sebagai subjek hukum (al-syakhshiyah al-i’tibariyah).
Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU PPh beserta penjelasannya yang menyebutkan bahwa KIK memenuhi definisi subjek pajak badan. Artinya, kewajiban perpajakan yang muncul bagi KIK sama dengan wajib pajak badan pada umumnya.
Kendati demikian, sekuritisasi aset dalam KIK EBAS hanya diperkenankan atas Aset Syariah Berbentuk Bukan Dain (ASBBD). ASBBD adalah aset yang berbentuk barang (al-a’yan), manfaat (al-manafi’), maupun jasa (al-khadamat).
Apabila sekumpulan aset yang disekuritisasi terdiri dari barang, manfaat, dan jasa maka akad dan ketentuan hukum yang digunakan mengikuti aset yang lebih dominan. Namun demikian, apabila aset yang disekuritisasi berupa manfaat dan jasa yang akan diadakan di kemudian hari maka harus mengikuti ketentuan akad Al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah (IMFD).
Selanjutnya, dalam DSN-MUI 125/2018 juga dinyatakan bahwa dalam hal akad yang digunakan antar pihak menggunakan akad IMFD. Akad IMFD tersebut wajib tunduk dan patuh pada ketentuan (dhawabith) dan batasan (hudud) yang terdapat dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 101/DSN-MUI/X/2016 (DSN-MUI 101/2016).
Menurut DSN MUI 101/2018, akad IMFD diartikan sebagai akad sewa-menyewa atas manfaat suatu barang (manfaat ‘ain) dan/atau jasa (‘amal) yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (lihat juga Andri Soemitra, 2019). Dengan demikian, penggunaan akad IMFD menyebabkan adanya imbalan (ujrah) yang harus dibayarkan.
Pengenaan pajak penghasilan untuk kegiatan usaha pembiayaan syariah telah diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2011 (PMK 137/2011). Pada prinsipnya, PMK 137/2011 mengatur dua prinsip pemajakan atas transaksi ijarah. Pertama, kegiatan sewa guna usaha yang dilakukan berdasarkan prinsip ijarah diperlakukan sama dengan kegiatan sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).
Kedua, kegiatan sewa guna usaha yang dilakukan berdasarkan prinsip Ijarah Muntahiyah Bittamlik, diperlakukan sama dengan kegiatan sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease). Pemajakan atas operating lease dan financial lease dapat dilihat juga pada artikel sebagai berikut.
Komparasi di Beberapa Negara atas Pemajakan Transaksi Ijarah
Di Irlandia tidak terdapat peraturan perpajakan yang secara khusus mengatur transaksi ijarah. Untuk itu, pemajakan atas ijarah sama dengan pemajakan transaksi leasing konvensional. Pengaturan ijarah dapat digunakan baik untuk operating lease, financial lease, maupun pembelian secara angsuran (Peter Maher dan Philip Mc.Queston, 2010).
Sedikit berbeda dengan Irlandia, pada tanggal 12 Januari 2010, otoritas pajak Luksemburg (Administration des Contributions Directes) menerbitkan surat edaran (Circular 1) yang isinya mengatur perihal prinsip-prinsip umum pemajakan transaksi keuangan syariah. Salah satunya adalah terkait ijarah (Jean-Luc Fisch dan Patrick Mischo, 2010).
Berbeda juga dengan Irlandia, pemajakan ijarah di Qatar diperlakukan sama halnya dengan financial lease tetapi harus mematuhi hukum syariah. Misalnya, penyewa tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendalinya (Roberto Scalia, 2015).
Hampir sama dengan Qatar, pemajakan atas transaksi ijarah di Afrika Selatan diperlakukan seperti halnya financial lease (Marlene Botes, 2013). Lebih lanjut, sedangkan kebijakan pajak di United Kingdom mengatur bahwa pemajakan ijarah harus diperlakukan sebagai sewa atau pembelian secara angsuran (Jeremy Cape, 2010).