AKHIR-AKHIR ini media cukup ramai memberitakan perihal transaksi sekuritisasi aset atau dikenal dengan istilah Efek Beragun Aset (“EBA”). Banyak pakar keuangan meyakini bahwa EBA dapat menjadi alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhan finansial sehingga perusahaaan dapat terus berekspansi. Contoh aset yang dapat disekuritisasi adalah piutang dari KPR, future income, dan lain sebagainya.
Berdasarkan peraturan pasar modal di Indonesia, penjualan EBA hanya diperkenankan dalam bentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK). Dengan demikian, aktivitas pengumpulan dana akan dilakukan oleh Manajer Investasi dan dana yang diperoleh harus dititipkan pada Bank Kustodian. Untuk lebih memperjelas pemahaman terkait transaksi KIK-EBA dapat dijelaskan melalui gambar dan uraian sebagai berikut
Pertama, perusahaan selaku Originator/Kreditur Awal melakukan pengalihan hak atas aset yang telah diseleksi untuk disekuritisasi kepada KIK-EBA. Secara umum, terdapat 2 jenis EBA yang sesuai dengan ketentuan pasar modal Indonesia, yaitu.
Kedua, KIK-EBA melakukan penjualan unit penyertaan kepada investor; Ketiga, investor melakukan pembelian unit penyertaan kepada KIK-EBA; Keempat, KIK-EBA menyerahkan uang penjualan unit penyertaan kepada Originator; Kelima, pada waktu yang telah disepakati, Originator akan melakukan pengembalian pokok disertai dengan marjin tertentu kepada KIK-EBA; danKeenam, setelah dikurangi biaya-biaya seperti imbalan jasa yang dibayarkan kepada Manajer Investasi, Bank Kustodian, dan lain sebagainya maka pembayaran dari Originator akan dikembalikan lagi kepada investor.
Peraturan perpajakan yang secara khusus mengatur mengenai KIK-EBA terdapat dalam Keputusan DJP No. KEP-147/PJ/2003 (“KEP-147”). KEP-147 mengatur bahwa untuk kepentingan perpajakan maka KIK-EBA diperlakukan sama dengan perkumpulan modal yang tidak terbagi atas saham. Penghasilan yang diterima KIK-EBA dari portofolio aset keuangan dikenakan PPh sesuai ketentuan umum UU PPh yang berlaku.
Lebih lanjut, dalam beberapa surat penegasan yang diterbitkan oleh DJP disebutkan bahwa apabila transaksi KIK-EBA dicatat sebagai utang-piutang maka marjin yang dibayarkan Originator kepada KIK-EBA dianggap sebagai penghasilan bunga (diskonto) yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15%. Namun demikian, pengecualian dari pemotongan PPh Pasal 23 ini diberikan dalam hal pembayaran bunga dilakukan kepada bank.
Sebagaimana kita ketahui, KIK-EBA tidak dapat dikategorikan sebagai bank. Bahkan, KIK-EBA juga tidak dapat diperlakukan sebagai perusahaan pembiayaan. Hal ini disebabkan KIK-EBA tidak didirikan dalam bentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi sehingga tidak dapat memenuhi kriteria pendirian perusahaan pembiayaan sebagaimana diamanatkan dalam PMK No. 84/PMK.012/2006.
Dampak Withholding Tax 15%
KIK-EBA merupakan kontrak yang dilakukan antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian sehingga dalam praktiknya penghasilan bersih pada tingkat KIK-EBA akan dibuat nihil. Hal ini disebabkan penghasilan tersebut sudah diproporsikan terlebih dahulu dan akan dipajaki pada tingkat Manajer Investasi serta Bank Kustodian. Dengan demikian, konsekuensi yang timbul ketika marjin yang diperoleh KIK-EBA dari Originator dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15%, posisi PPh Badan KIK-EBA akan menjadi lebih bayar terus menerus.
Dalam kondisi pajak lebih bayar tentunya sangat mengganggu likuiditas KIK-EBA, mengingat lamanya proses pemeriksaan lebih bayar dilakukan paling lambat 12 bulan sejak SPT dilaporkan oleh wajib pajak. Akan tetapi, KIK-EBA telah berkewajiban untuk segera mendistribusikan marjin yang diperoleh dari Originator kepada para investor berdasarkan perjanjian yang telah disepakati.
Solusi
Sesuai dengan semangat sistem self-assessment sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Umum UU PPh Tahun 2008, menurut Penulis perlu adanya tinjauan ulang terkait pemotongan PPh Pasal 23 atas marjin KIK-EBA. Hal ini bertujuan agar sistem pelaporan dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan tidak mengganggu likuiditas wajib pajak dan lebih sesuai dengan perkiraan pajak yang akan terutang. Berikut ini adalah 3 alternatif solusi yang dapat dipertimbangkan, yaitu.
Pertama, memberikan pengecualian pemotongan PPh Pasal 23 atas marjin KIK-EBA dari Originator. Pemerintah dapat memberikan pengecualian pemotongan PPh Pasal 23 kepada KIK-EBA, sama halnya dengan pengecualian yang saat ini berlaku sehubungan dengan penghasilan bunga yang dibayarkan kepada bank. Berkaca pada Singapura, Malaysia, Myanmar, serta Kanada, negara-negara tersebut bahkan tidak mengenakan pemotongan pajak atas penghasilan bunga yang diterima oleh subjek pajak dalam negeri di negara mereka;
Kedua, memberikan tarif khusus untuk pemotongan PPh Pasal 23 kepada KIK-EBA. Hal ini bisa saja bercermin seperti kebijakan yang diambil oleh Korea Selatan untuk memberlakukan tarif yang lebih rendah dari tarif yang berlaku umum terkait pemotongan PPh atas bunga yang diperoleh lembaga pembiayaan; atau
Ketiga, dalam hal alternatif satu dan dua tidak dapat dipenuhi maka untuk lebih memberikan kepastian hukum, perlu adanyapengaturan yang secara khusus mengatur perihal teknis pemberian Surat Keterangan Bebas pemotongan PPh Pasal 23 bagi KIK-EBA.
Solusi di atas tentunya dimaksudkan agar KIK-EBA semakin berkembang di Indonesia dan dalam teknis pelaksanaannya pun memiliki kepastian hukum dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakannya.